Rabu, 04 Januari 2017

Tafsīr al-Muqārin dan Tafsīr al-Maudhu’i

BAB I
Pendahuluan

Fungsi utama Al-qur’an adalah menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia.[1] Untuk dapat memfungsikannya sebagaimana mestinya, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah memahami petunjuk dan kandungan  Al-qur’an itu sendiri.
Upaya untuk memahami petunjuk dan kandungan Al-qur’an itu telah dilakukan sejak Rasulullah saw. Masih hidup. Ayat-ayat Al-qur’an yang tidak dapat langsung dipahami oleh para sahabat, mereka tanyakan kepada Rasulullah saw. Dan memberikan jawaban atau penjelasan terhadap ayat-ayat Al-qur’an, merupakan tugas atau risalah Nabi Muhammad saw.[2] Sepeninggal Rasulullah saw. Umat Islam menemukan kesulitan dalam memahami Al-qur’an, karena tidak dapat lagi bertanya langsung kepada orang yang memiliki otoritas untuk menjelaskannya, sementara mereka membutuhkan tafsir yang dapat membimbing dan mengantarkan pemahaman terhadap Al-qur’an.[3] Sejak itulah tafsir Al-qur’an mulai berkembang.
Sesuai dengan perubahan zaman dan  makin majunya ilmu pengetahuan, banyak metode-metode yang ditemukan dalam menafsirkan alqur’an.  Yang secara garis besar, penafsiran tersebut dilakukan melalui empat cara (metode), yaitu ijmali (global), Tahlili (analitis), muqarran (perbandingan), dan maudhu’i (tematik).
Ulama tafsir modern berusaha menawarkan metode tematis, dimana mereka yang menginginkan petunjuk  praktis dari alqur’an tentang suatu masalah dan tidak perlu menghabiskan waktu untuk membaca kitab tafsir yang tebal-tebal itu. Ia cukup membaca tafsir tematik (al-maudhu’i) itu mengenai masalah yang dihadapinya, dan ingin diselesaikannya. Perkembangan tafsir itu merupakan konsekuensi dari berkembangnya metode para penafsir dalam memberikan penjelasan terhadap Al-qur’an. Tulisan ini akan membahas dua diantara metode-metode tafsir yang ada, metode tafsir yang dimaksud, yaitu; at-Tafsīr al-Muqārin dan al-Mawdhū’i
BAB II
Pembahasan
A.          Pengertian at-Tafsīr al-Muqārin (Komparatif)
Kata al- muqārin adalah ism fā’il dari kata kerja  qāran, yang menurut bahasa berarti yang membandingkan antara  dua perkara.[4]Dengan demikian, kata muqārin berarti pelaku perbandingan antara dua perkara. Dan metode tafsir muqārin menurut bahasa berarti menjelaskan  Al-qur’an dengan cara membandingkan antar dua perkara.
Adapun pengertiannya menurut istilah adalah “ Membandingkan ayat-ayat Al-qur’an yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan memilki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam obyek bahasan metode ini, membandingkan ayat-ayat Al-qur’an dengan hadis-hadisNabi Muhammad saw. Yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-qur’an”.[5]
Dari definisi ini, ada tiga hal yang dapat diperbandingkan dengan metode muqāran, yaitu sebagai berikut:
1.      Membandingkan ayat dengan ayat, dalam hal ini terbagi lagi menjadi dua kategori; a. membandingkan satu ayat dengan ayat yang lainnya yang membahas kasus yang sama, tetapi menggunakan redaksi yang berbeda, b. membandingkan satu ayat dengan ayat yang lainnya yang membahas kasus yang berbeda, tetapi menggunakan redaksi yang mirip.
2.      Membandingkan ayat dengan hadis yang membahas kasus yang sama, tetapi dengan pengertian yang tampak berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam hal ini, dipersyaratkan bahwa hads yang diperbandingkan harus minimal berkualitas shahīh.
3.      Membandingkan penafsiran seorang penafsir dengan penafsiran penafsir yang lain terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang sama.
Dalam metode muqāran ini, terutama yang membandingkan ayat dengan ayat seperti kategori yang pertama di atas, penafsir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri.[6]
Membandingkan ayat dengan hadis yang kelihatannya bertentangan, dilakukan  juga oleh ulama hadis, khussnya dalam bidang yang dinamakan mukhtalif al-hadis. Sikap ulama dalam hal ini berbeda-beda. Abū hanīfah dan penganut mazhabnya menolak sejak dini hadis yang bertentangan dengan Al-qur’an. Imam Mālik dan penganut mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada qarīnah (pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengamalan penduduk Madinah atau ijmak ulama. Sedangkan Imām Syāfi’iy, berupaya mengompromikan ayat dan hadis  tersebut, khussnya jika sanad hadis itu shahīh.[7] 
Sedangkan untuk membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir menyangkut ayat-ayat Al-qur’an, ada beberpa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1.      Kondisi sosial politik pada masa seorang penafsir hidup.
2.      Kecenderungan penafsir dan latar belakang pendidikannya.
3.      Pendapat yang dikemukakannya apakah pendapat pribadi atau hanya mengembangkan pendapat sebelumnya, atau juga mengulanginya.
4.      Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding melakukan  analisis untuk mengemukakan penilainnya tentang pendapat tersebut, baik menguatkan maupun melemahkan pendapat-pendapat penafsir yang diperbandingkannya.[8] 
Dari urain terdahulu, dapat dipahami bahwa tafsir muqārin itu melingkupi tiga perbandingan, baik antara ayat dan ayat Al-qur’an, ayat dengan hadis shahīh, maupun antara satu penafsiran dan penafsiran yang lain tentang ayat Al-qur’an yang sama. Untuk dapat mengenali lebih jauh mengenai tafsir muqārin ini, berikut akan dibahas spesifikasinya.
B.           Karakteristik Tafsir Muqārin
Sebelum membahas karakteristik tafsir muqārin ini, terlebih dahulu akan di kemukakan beberpa factor yang mendorong lahirnya, yaitu sebagai berikut:
1.      Al-qur’an menyatakan dirinya sebagai satu kitab yang mencakup segala sesuatu,[9] padahal ia merupakan kitab yang ringkas. Oleh karena itu, jika benar ia menacakup segala sesuatu, maka redaksi yang digunakannya tentulah sangat cermat, baik susunan kalimatnya, sitematikanya, maupun kata-katanya.[10] Dengan demikian, perbedaan redaksi Al-qur’an, sekecil apa pun  adanya diduga punya pengertian yang berbeda pula.
2.      Al-qur’an juga menyatakan dirinya bebas dari kontradiksi.[11] Oleh karena itu, perbedaan redaksi tidak boleh memberikan pengertian kontradiktif. Untuk membuktikan bahwa al-qur’an itu terhindar dari pertentangan di antara ayat-ayatnya, salah satu caranya dengan membandingkannya.
3.      Hadis shahīh tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an, sedangkan yang diperbandingkan dalam tafsir muqārin ini hanya hadis yang  shahīh yang tampaknya bertentangan. Perbandingan ini di sisi lain dapat dijadikan sarana kritik hadis dari segi matn.
4.      Ada kemungkinan bahwa hasil penafsiran seorang penafsir berbeda dengan hasil penafsiran penafsiran yang lain dalam banyak hal. Oleh karena itu, dengan membandingkan antara penafsiran para penafsir tersebut, akan memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan dapat diketahui kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi.
Berkenaan dengan redaksi Al-qur’an yang mirip antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, az-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi,[12] yang diringkas sebagai berikut:
1. Variasi letak dalam kalimat:
وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّ a. Surāh al-Baqarah ayat 58:
وَقُولُوا حِطَّةٌ وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًاb. Surāh al-An’ām ayat 161:
2. Variasi jumlah huruf:
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْa. Surāh al-Baqarah ayat enam:  
وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْb. Surāh Yās̄in ayat 10:
3.Variasi keterdahuluan:
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلa. Surāh  al-Baqarah ayat   48:
مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ  b. Surāh al-Baqarah ayat 123:
 مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ
4.Variasi Ma’rifah dan Nakirah:
وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّa. Surāh  al-Baqarah ayat 123:
وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّb. Surāh  Āli ‘Imrān ayat 112:
5.Variasi antara Jamak dan Mufrad:
وَقَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُودَةًa. Surāh  al-Baqarah ayat 80:  
قَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍb. Surāh  Āli ‘Imrān ayat 24:  
6.Variasi pemilihan huruf:
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاa. Surāh  al-Baqarah ayat 35:  
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَاb. Surāh  al-A’rāf ayat 19:
7.Variasi pemilihan kata:
مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَاa. Surāh  al-Baqarah ayat 170:
مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا  b. Surāh  Luqmān ayat 21:
8.Variasi dalam idgām:
لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَa. Surāh al-An’ām ayat 42:
لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَb. Surāh  al-A’rāf ayat 94:  
Setelah mengemukakan beberapa variasi redaksi ayat-ayat Al-qur’an yang mirip, berikut ini akan dikemukakan contoh tafsir muqārin tersebut.
1.      Untuk perbandingan ayat dengan ayat yang lainnya, terlebih dahulu diadakan inventarisasi ayat-ayat yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi sehubangan dengan kasus yang dibahas. Hal ini dilakukan mengingat variasi redaksi dapat muncul dari kasus yang bervariasi pula.
a.       Contoh perbandingan ayat yang mirip dalam kasus yang berbeda:
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا    Surāh  Āli ‘Imrān ayat 126:  
 النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا Surāh  al-Anfāl ayat 10:
مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Ayat 126 Surāh  Āli ‘Imrān di atas berkaitan dengan pertolongan Allah pada orang-orang Islam dalam perang Uhud, sedangkan ayat 10 Surāh  al-Anfāl berkenaan dengan pertolongan Allah pada orang-orang Islam dalam perang Badar. Variasi keterdahuluan penempatan kata “bihií” dan penambahan kata “inna” dimaksudkan (diduga) sebagai penekanan atau penegasan (tawkid) kandungan utama ayat tersebut, yakni janji bantuan dari Allah swt. Bagi oarng-orang Islam dalam perang Badar yang masih lemah, sedangkan pada ayat yang berkaitan dengan perang Uhud tidak perlu ada tawkid, sebab orang-orang Islam sudut kuat dan pertolongan Allah. Telah terbukti pada perang Badar.[13]
b.      Contoh perbandingan ayat-ayat yang membahas kasus yang sama, tetapi redaksinya berbeda:
Surāh al-An’ām ayat 151:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا
 أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Surāh  al-Isrā ayat 31:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
Kedua ayat ini berbicara tentang kasus yang sama, yaitu larangan membunuh anak-anak karena alas an kemiskinan. Perbedaannya terletak pada sasaran ayat atau mitra bicara (mukhātab). Mitrabicara ayat 151 Surāh al-An’ām adalah orang-orang miskin, sehingga menggunakan ungkapan “min imlāq”, yang berarti karena alas an kemiskinan atau “karena memang  sudah  miskin”. Adapun mitra bicara ayat 31 Surāh  al-Isrā adalah orang-orang kaya, sehingga menggunakan ungkapan “khasyyata imlāq”, yang berarti khawatir menjadi miskin. Pada ayat pertama, penggunaan kata ganti “kum” didahulukan, dengan maksud menghilangkan kekhawatiran orang miskin bahwa mereka tidak mampu memberi nafkah pada anak-anak mereka, sedangkan pada ayat yang kedua kata ganti “hum” didahulukan, supaya orang kaya yakin bahwa yang memberi rezeki anak-anaknya itu adalah Allah swt., bukan orang kaya itu sendiri.[14]
2.      Untuk perbandingan ayat Al-qur’an dengan hadis, terlebih dahulu dilakukan penilaian terhadap kualitas hadis itu sendiri, karena kalau ternyata hadis itu berkualitas hasan atau dha’īf, tidaklah perlu diperbandingkan dengan ayat Al-qur’an. Jika antara keduanya terlihat bertentangan, maka hadis yang kualitasnya  hasan atau dha’īf  itu dapat diabaikan saja. Tetapi apabila ternyata hadis itu berkualitas shahīh dan terlihat bertentangan atau berbeda dengan ayat Al-qur’an, maka perlu diperbandingkan.
Contoh perbandingan ayat Al-qur’an dengan hadis:
Al-qur’an Surāh  an-Nahl ayat 32: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Hadis Rasulullah yang berbunyi: لَنْ يَدْخُلَ أَحَدُكُمْ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ
Mahmoud Ayyoub dengan mengutip pendapat az-Zarkasyi menjelaskan perbandingannya bahwa orang masuk surga memang bukan karena amalnya, tetapi yang dimaksud oleh ayat 32 Surāh  an-Nahl itu adalah amal seseorang itu menentukan tingkatan surga yang akan dimasuki. Sedangkan penjelasan dari segi bahasa, bā pada ayat itu bermakna imbalan (muqābalah), sedangkan yang ada dalam hadis tadi bermakna “sababiyyahí”.[15]
3.      Untuk perbandingan antara penafsiran berbagai penafsir mengenai ayat-ayat yang sama, dapat dilakukan dengan mengambil beberapa buah kitab tafsir, lalu membandingkan penafsiran mereka terhadap ayat yang sama.
Salah satu buku yang menerapkan tafsir muqārin adalah: Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, karya Jalaluddi Rahman, yang meneliti penafsiran “Kasb” dfalam kitab tafsir, yakni: Tafsir al-Baydhāwiy (Ahl as-Sunnah), Tafsir al-Kasysyāf (Mu’tazilah) dan Tafsit al-Manār (Pembaharu).[16] Sedangkan tafsir yang secara khusus menerapkan cara ini adalah The Qur’an and Its Interpretrsi, karya  Mahmuod Ayoub, yang membandingkan penafsiran ayat-ayat Al-qur’an secara berurutan.  
Dari uraian terdahulu dapat diketahui perbedaan tafsir muqārin ini dengan tafsir-tafsir lainnya, yang mana ciri khususnya adalah dalam membandingkan antara dua ayat yang redaksinya mirip, padahal membahas dua hal atau dua kasus yang berbeda, atau dua ayat yang berbeda, padahal (diduga) membahas kasus yang sama, atau membandingkan antara ayat dengan hadis yang diketahui berkualitas shahīh, namun antara keduanya terlihat perbedaan, bahkan mungkin terlihat bertentangan, atau membandingkan penafsiran-penafsiran para penafsir terhadap ayat yang sama.
Tafsir muqārin ini dapat menambah wawasan orang terhadap kandungan Al-qur’an, namun tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkan itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional.[17]
C.          Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqārin (Komparatif)
1.      Kelebihan
Di antara kelebihan metode ini ialah:
a.       Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.
b.      Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif.
c.       Tafsir dengan metode komparatif ini amat berguna bagi mereka yanag ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
d.      Dengan menggunakan metode komparatif, maka mufasir didorong untuk mengaji berbagai ayat dan hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.[18]
2.   Kekurangan
Di antara kekurangan metode ini adalah:
a.       Penafsiran yang memakai metode komparatif tidak dapat diberikan kepada para pemula.
b.      Metode komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat.[19]
D.          Pengertian Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Tafsir al-maudhu’i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-qur’an al-Karim yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang juga bisa disebut metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu, dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya, serta menghubung-hubungkan antara yang satu dan  yang lainnya dengan korelasi yang bersifat komprehensif.[20]
Metode tematik ialah membahas ayat-ayat Al-qur’an sesuai dengan tema atau judul yang tekah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzūl, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari Al-qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.[21]
Dari pengertian diatas maka pengertian tafsir al-Maudhu’i adalah cara mengkaji dan mempelajari ayat Al-qur’an dengan menghimpun ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[22]
E.           Ciri-ciri Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Al-Maudhu’i atau yang sidebut dengan tematik ini mempunyai ciri utama yaitu:
1.      Menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan.
2.      Tema yang dipilih dikaji secara tuntas dan menyeluruh.
3.      Dilengkapi Hadis Nabi, pendapat sahabat, ulama.[23]
F.           Bentuk Kajian dan Penyajian Metode Tafsir al-Maudhu’i (Tematik).
Bentuk kajian metode tafsir al-Maudhu’i (Tematik) ada yaitu: Pertama, penafsiran mengenai satu surat dalam Al-qur’an dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus. Menjelaskan korelasi antara masalah yang dikandungnya sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat, penafsirna ini juga disebut dengan tafsir tematik persurat.
Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu. Selanjutnya ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan dibawah satu tema bahasan dan selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu’i.[24]
Adapun dalam  perkembangannya metode tafsir al-Maudhu’i mengambil dua bentuk penyajian: Pertama, penyajian kotak yang berisi pesan-pesan Al-qur’anyang terdapat pada ayat-ayat yang terangkuk pada satu surat. Misalnya, pesan pada surat al-Baqarah, Ali Imran, atau Yasin. Biasanya, kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang pesannya dirangkum selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasulullah.
Kedua, penyajian kedua dari metode al-Maudhu’i mulai berkembang pada tahun enam puluhan yang dilator belakangi oelh kesadaran para pakar bahwa menghimpun pesan-pesan Al-qur’an yang terdapat pada suatu surat belum menuntaskan suatu persoalan.[25]
G.          Cara Kerja Metode Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menafsirkan Al-qur’an dengan metode tafsir a;-Maudhu’i dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Memilih atau menetapkan masalah Al-qur’an yang akan dikaji (topik) secara tematik (al-Maudhu’i).
2.      Melacak  dan  menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan  masalah yang telah ditetapkan.
3.      Menyusun  runtutan ayat-ayat tersebut menurut kronologis masa turunnya disertai dengan pengetahuan tenatang asbāb an-nuzūl-nya.
4.      Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing suratnya.
5.      Menyusun bahasan dalam kerangka yang sistematis, sempurna dan utuh.
6.      Melengkapi bahasan dengan uraian hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
7.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan menghimpun ayat-ayat yang serupa masa lalu mengkompromikan antara pengertian yang ‘am (umum) dengan khas (khusus), antara yang muthlaq dengan muqayyad (terikat), mensinkronkan  antara  ayat-ayat yang tampak kontrakdiktif ssehingga semuanya bertemu dalam  satu  muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.
8.      Melahirkan konsep yang utuh dari Al-qur’an tentang satu topik masalah yang telah dipilih sebelumnya.
Menurut analisa M. Quraish Shihab, meskipun dalam kerja metode tafsir ini secara tegas tidak mengharuskan mufassir untuk menguraikan kosa kata, namun kesempurnaan pemahaman ayat akan didapat apabila sejak awal sang mufassir berusaha memahami kosa kata atau pengungkapan ayat tersebut dengan menjelaskan bentuk dan kedudukan i’rab misalnya dengan merujuk pada kitab-kitab atau kamus bahasa Al-qur’an dan sejenisnya.[26]
H.          Perbedaan Metode Tafsir al-Maudhu’i (Tematik) Dengan Metode Tahlili.
Tafisir Tahlili (analitis) menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-qur’an dari seluruh aspeknya, sedangkan tafsir al-Maudhu’i (Tematik) membahas tentang masalah-masalah Al-qur’an al-Karim yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayat.
Maka tafsir al-Maudhu’i (Tematik) dengan jelas bisa dikatakan mempunyai perbedaan dengan Tafisir Tahlili (analitis), perbedaanya sebagai berikut:
1.      Mufassir Maudhu’i dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedangakan mufassir Tahlili memerhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mushaf.
2.      Mufassir Maudhu’i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, namun hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan  atau judul yang telah ditetapkannya. Selain itu Mufassir Maudhu’i dalam pembahasannnya tidak mencantumkan arti kosa kata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematikan perututan kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Sedangkan mufassir Tahlili berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuetu yang ditemukannnya dalam setiap ayat. Sebagai konsekuensinya, mereka mencantumkan arti, kosa kata, sebab nuzul serta munasabat ayat.
3.      Mufassir Maudhu’i berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Mufassir Tahlili menganalisa ayat-ayat secara sendiri-sendiri sehingga persoalannya tidak tuntas dibahas, karena ayat yang sering ditafsirkan sering dijumpai pada ayat surat itu atau surat lain.[27]
Tafsir tematik (al-Maudhu’i) dianggap sebagai pelengkap tafsir tahlili, yang dinilai kurang fokus dan paripurna dalam mengkaji ayat-ayat Al-qur’an. Secara umum, metode tafsir al-maudhu’i sangat disukai oleh para pengkaji tafsir belakangan. Menurut al-Farmawi, tafsir ini diperkenalkan pertama kali oleh Ahmad Sayyid al-Kumi. Sedangkan kalau kita meruntut sejarah  tafsir, sejak era klasik metode maudhu’i ternyata sudah banyak digunakan oleh para pengkaji Al-qur’an seperti kitab-kitab tafsir Ayat al-Ahkam, kitab-kitab yang mengkaji Nasikh-Mansukh, I’jaz al-qur’an, sastra (balaghah), dan kitab-kitab tafsir lainnya yang membahas salah satu sisi dari Al-qur’an.[28]
I.             Kelebihan dan Kekurangan Metode al-Maudhu’i (Tematik)
1.      Kelebihan
Diantara kelebihan tafsir ini ialah sebagai berikut:
a.       Menjawab Tantangan Zaman
Permasalahan dalam kehidupan semakin tumbuh dan berkembang, semakin modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit serta punya dampak yang luas. Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, kajian maudhu’i ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
b.      Praktis dan Sistematis
Tafsir ini disusun secara
c.       Dinamis
d.      Membuat Pemahaman Menjadi Utuh
2.      Kekurangan
Di samping mempunyai kelebihan, metode ini juga tak lepas dari kekurangan yang antara lain adalah:
a.  Memanggal ayat Al-qur’an
Memanggal ayat ayat yang dimaksud disini adalah mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Midsalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah di ungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, misalnya, maka mau tak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan.
b. Membatasi pemahaman ayat
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufasir terikat oleh judul itu. [29]
J.            Kitab-kitab Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Terdapat kitab-kitab klsik ataupun modern yag menerapkan metode tafsir al-Maudhu’i ini. Diantara mufassir yang karyanya pada masa klasik yaitu.
1.      Ibnul Qayyim: at-Tibyan fi Aqsamil Qur’an.
2.      Abu Ubaidah: Mufradatul Qur’an.
3.      Abu Jafar an-Nahas: an-Nasikh wal Mansukh.
4.      Abu Hasan al Wahidi: As-bābun Nuzūl.
5.      Al-Jassas: Ahkamu al- Qur’an.
Beberapa ahli tafsir modern banyak pula menrapkan metode tafsir al-maudhu’i. diantara tokoh tersebut yaitu:
1.      Prof. Dr. al-Husairi Abu Farhah: al-Futuhat al Rabbaniya fi al-Tafsīr al-Maudhu’i al-Ayat al-Qur’aniyyah.
2.      Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmāwy: al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Maudhu’i.[30]
Selain daftar diatas masih banyak kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode  maudhu’i diantaranya:
1.      Al-Ustadz Mahmud al-Aqqad: Al-Mar’ah fi al- Qur’an.
2.      Muhammad Biltaji: Makanah al-Mar’ah fi al-Qur’an al-Karīm wa as-sunnah al-Shaẖiẖah.
3.      Ayatullah al-syekh Muhammad al-Yazdi: Ushūl ad-Din wa Ushūl al-Imān fi al-Qur’an.
4.      Abu al’A’la al-Maududi: Ar-Ribi fi al-Qur’an.
5.      Dr. Kamil Salamah: Ayat al-Jihād fi al-Qur’an al-Karīm Dirasatan Maudhu’iyyatan wa Takhriyyatan wa Bayaniyyatan.
6.      Syekh Muhammad al-Ghazali: al-Daqs’ Nahw Tafsīr Mawdhu’i li-Suwaral-Qur’an al-Karīm.[31]

BAB III
Penutup

Salah satu metode penafsiran Al-qur’an adalah  at-Tafsir al-Muqārin, yaitu penafsiran Al-qur’an dengan cara melakukan perbandingan antara ayat dengan ayat yang membahas masalah yang berbeda dengan redaksi yang mirip, atau membahas masalah yang sama (diduga sama), tetapi menggunakan redaksi yang berbeda, atau membandingkan beberapa penafsiran para penafsir terhadap ayat yang sama.
Dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, at-Tafsir al-Muqārin ini merupakan khazanah intelektual Islam yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas wawasan kita terhadap Al-qur’an.
 Adapun al-Tafsīr al-Maudhu’i atau tafsir tematis yang dapat berupa penafsiran satu surah dengan tema yang di dalamnya ada tema-tema kecil, atau berupa mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan denagn tema tertentu, lalu mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut, menyusunnya berdasarkan runtutan turunnya, kemudian membahasnya dalam satu bahasa dengan memperhatikan sabab nuzl dan korelasi ayat dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya dan pengertian kosakatanya, agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai petunjuk ayat-ayat yang ditafsirkan dan dapat mengambil kesimpulan yang benar. Tafsir tematis dalam bentuk yang kedua ini, temanya  dapat diangkat dari ungkapan yang digunakan oleh Al-qur’an sendiri, atau dapat pula berdasrkan tema yang merupakan pemahaman mufasirnya terhadap konsep-konsep Al-qur’an.

Daftar Pustaka

Anīs, Ibrāhīm, Al-Mu’jam al-Wasīth, T.d.
Ayoub, Mahmuod, The Qur’an and Its Interpretrsi, Arberry: State University of New York Press, 1984.
Bagir, Haidar, Metode Komparatif dalam Tafsir Al-qur’an: Sebuah Pengantar” dalam al-Hikmah, Bandung: Yayasan  Muthahhari, 1990.
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran  Al-Qur’an Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
________________, Metodologi Penafsiran  Al-Qur’an, Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Barni, Mahyuddin, Kajian Tematik Ayat-Ayat Al-Quran Banjarmasin: Antasari Press, 2007.
Diseratsi Program Pascasarjana IAIN Syarif  Hidayatullah Jakarta, diterbitkan pertama kali oleh Bulan Bintang Jakarta, tahun 1992.
Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudlu’i Pada Masa Kini Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
AL-Farmāwiy, ‘Abd al-Hayy, Al-Bidāyah fi at-Tafsīr al-Mawdhū’I, Al-Qāhirah: Jāmi’ah al-Azhar, 2005.
Hasan, Ahmad Fuad dkk, Qawaid At-Tafsir, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014.
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2011.
Khatīb, Ahmad, Dirāsāt fi al-Qur’ān,  Mishr: Dār al-Ma’ārif, 1972.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-qur’an, Bandung: Mizan, 1992.
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Asy-Syāthiby, Abû Ishāq, Al-Muwāfaqāt fi Ushûl asy-Syarī’ah, Mishr: al-Maktabah at-Tijāriyyah al-Kubrā, t.th.
Az-Zarkasyi, Badr ad-Dīn Muhammad bin ‘Abdullah  , Al-Burhān fi ‘Ulûm al-Qur’ān, Al-Qāhirah: Musthafā al-Bābī al-Halabiy, 1957.



[1] Lihat Q.S. al-Baqarah ayat 185.
[2]Lihat Q.S. an-Naẖal ayat 44. Lihat juga Abû Ishāq asy-Syāthiby, Al-Muwāfaqāt fi Ushûl asy-Syarī’ah, jilid 4, (Mishr: al-Maktabah at-Tijāriyyah al-Kubrā, t.th), h 26.
[3]Ahmad Khatīb, Dirāsāt fi al-Qur’ān,  (Mishr: Dār al-Ma’ārif, 1972), h 111.
[4]Ibrāhīm Anīs, Al-Mu’jam al-Wasīth, juz 2, (T.d.), h 730.
[5] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h 110. Lihat juga ‘Abd al-Hayy al-Farmāwiy, Al-Bidāyah fi at-Tafsīr al-Mawdhū’I, (Al-Qāhirah: Jāmi’ah al-Azhar, 2005), h 35. Lihat juga Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran  Al-Qur’an, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h 72.
[6] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, h 118.
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, h 119.
[8]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, h 119-120.
[9]Lihat Q.S. al-An’ām ayat 38. Yang artinya: “Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitāb (Al-qur’an).
[10]Lihat Q.S. Hûd ayat satu, Allah menyatakan Al-qur’an itu ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara rinci, diturunkan disisi Yang Maha bijak lagi Maha Mengetahui.
[11]Lihat Q.S. an-Nisā ayat 82 yang artinya: “ Maka tidaklah mereka menghayati (mendalami) Al-qur’an ? Sekiranya (Al-qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya”.
[12]Badr ad-Dīn Muhammad bin ‘Abdullah  az-Zarkasyi, Al-Burhān fi ‘Ulûm al-Qur’ān, Juz 1, (Al-Qāhirah: Musthafā al-Bābī al-Halabiy, 1957), h 115-132.
[13]Haidar Bagir, Metode Komparatif dalam Tafsir Al-qur’an: Sebuah Pengantar” dalam al-Hikmah, (Bandung: Yayasan  Muthahhari, 1990), h 27.
[14] az-Zarkasyi, Al-Burhān fi ‘Ulûm al-Qur’ān, h 67.
[15]Mahmuod Ayoub, The Qur’an and Its Interpretrsi, Jilid 1, (Arberry: State University of New York Press, 1984), h 27.
[16]Diseratsi Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diterbitkan pertama kali oleh Bulan Bintang Jakarta, tahun 1992.
[17] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, h 119-120.
[18] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran,  Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran  Al-Qur’an, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Ct. ke-2, h  142-143.
[19]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran, h  143-144.
[20]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), Ct. ke-3, h. 114. Lihat juga Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran, h 72. Lihat juga Mahyuddin Barni, Kajian Tematik Ayat-Ayat Al-Quran, (Banjarmasin: Antasari Press, 2007), h 12.  Lihat juga Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h 83.
[21]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran, h 151.
[22]Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 75
[23]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran,  h 152.
[24]Ahmad Fuad Hasan dkk, Qawaid At-Tafsir, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), h 371.
[25]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,  h 115.
[26]Ahmad Fuad Hasan dkk, Qawaid At-Tafsir, h 372.
[27]Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir,  h 77.
[28]Ahmad Fuad Hasan dkk, Qawaid At-Tafsir,  h 374.
[29]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran, h  168.
[30]Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir, h 78.
[31]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,  h 116.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar