Tafsīr al-Muqārin dan Tafsīr al-Maudhu’i
BAB
I
Pendahuluan
Fungsi
utama Al-qur’an adalah menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia.[1]
Untuk dapat memfungsikannya sebagaimana mestinya, maka langkah pertama yang
harus dilakukan adalah memahami petunjuk dan kandungan Al-qur’an itu sendiri.
Upaya untuk memahami petunjuk dan kandungan Al-qur’an itu telah
dilakukan sejak Rasulullah saw. Masih hidup. Ayat-ayat Al-qur’an yang tidak
dapat langsung dipahami oleh para sahabat, mereka tanyakan kepada Rasulullah
saw. Dan memberikan jawaban atau penjelasan terhadap ayat-ayat Al-qur’an,
merupakan tugas atau risalah Nabi Muhammad saw.[2]
Sepeninggal Rasulullah saw. Umat Islam menemukan kesulitan dalam memahami
Al-qur’an, karena tidak dapat lagi bertanya langsung kepada orang yang memiliki
otoritas untuk menjelaskannya, sementara mereka membutuhkan tafsir yang dapat
membimbing dan mengantarkan pemahaman terhadap Al-qur’an.[3]
Sejak itulah tafsir Al-qur’an mulai berkembang.
Sesuai dengan perubahan zaman dan
makin majunya ilmu pengetahuan, banyak metode-metode yang ditemukan
dalam menafsirkan alqur’an. Yang secara
garis besar, penafsiran tersebut dilakukan melalui empat cara (metode), yaitu
ijmali (global), Tahlili (analitis), muqarran (perbandingan), dan maudhu’i
(tematik).
Ulama tafsir modern berusaha menawarkan metode tematis, dimana
mereka yang menginginkan petunjuk
praktis dari alqur’an tentang suatu masalah dan tidak perlu menghabiskan
waktu untuk membaca kitab tafsir yang tebal-tebal itu. Ia cukup membaca tafsir
tematik (al-maudhu’i) itu mengenai masalah yang dihadapinya, dan ingin
diselesaikannya. Perkembangan tafsir itu merupakan konsekuensi dari
berkembangnya metode para penafsir dalam memberikan penjelasan terhadap
Al-qur’an. Tulisan ini akan membahas dua diantara metode-metode tafsir yang
ada, metode tafsir yang dimaksud, yaitu; at-Tafsīr al-Muqārin dan al-Mawdhū’i.
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian at-Tafsīr al-Muqārin (Komparatif)
Kata
al- muqārin adalah ism fā’il dari kata kerja qāran, yang menurut bahasa berarti
yang membandingkan antara dua perkara.[4]Dengan
demikian, kata muqārin berarti pelaku perbandingan antara dua perkara.
Dan metode tafsir muqārin menurut bahasa berarti menjelaskan Al-qur’an dengan cara membandingkan antar dua
perkara.
Adapun
pengertiannya menurut istilah adalah “ Membandingkan ayat-ayat Al-qur’an yang
memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau
kasus yang berbeda, dan memilki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus
yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam obyek bahasan metode ini,
membandingkan ayat-ayat Al-qur’an dengan hadis-hadisNabi Muhammad saw. Yang
tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut
penafsiran ayat-ayat Al-qur’an”.[5]
Dari
definisi ini, ada tiga hal yang dapat diperbandingkan dengan metode muqāran,
yaitu sebagai berikut:
1.
Membandingkan
ayat dengan ayat, dalam hal ini terbagi lagi menjadi dua kategori; a.
membandingkan satu ayat dengan ayat yang lainnya yang membahas kasus yang sama,
tetapi menggunakan redaksi yang berbeda, b. membandingkan satu ayat dengan ayat
yang lainnya yang membahas kasus yang berbeda, tetapi menggunakan redaksi yang
mirip.
2.
Membandingkan
ayat dengan hadis yang membahas kasus yang sama, tetapi dengan pengertian yang
tampak berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam hal ini, dipersyaratkan bahwa
hads yang diperbandingkan harus minimal berkualitas shahīh.
3.
Membandingkan
penafsiran seorang penafsir dengan penafsiran penafsir yang lain terhadap
ayat-ayat Al-qur’an yang sama.
Dalam
metode muqāran ini, terutama yang membandingkan ayat dengan ayat
seperti kategori yang pertama di atas, penafsir biasanya hanya menjelaskan
hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh
masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri.[6]
Membandingkan ayat dengan hadis yang kelihatannya bertentangan,
dilakukan juga oleh ulama hadis,
khussnya dalam bidang yang dinamakan mukhtalif al-hadis. Sikap ulama
dalam hal ini berbeda-beda. Abū hanīfah dan penganut mazhabnya menolak sejak
dini hadis yang bertentangan dengan Al-qur’an. Imam Mālik dan penganut
mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada qarīnah
(pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengamalan penduduk Madinah atau
ijmak ulama. Sedangkan Imām Syāfi’iy, berupaya mengompromikan ayat dan
hadis tersebut, khussnya jika sanad hadis
itu shahīh.[7]
Sedangkan untuk membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir
menyangkut ayat-ayat Al-qur’an, ada beberpa hal yang perlu diperhatikan,
sebagai berikut:
1.
Kondisi
sosial politik pada masa seorang penafsir hidup.
2.
Kecenderungan
penafsir dan latar belakang pendidikannya.
3.
Pendapat
yang dikemukakannya apakah pendapat pribadi atau hanya mengembangkan pendapat
sebelumnya, atau juga mengulanginya.
4.
Setelah
menjelaskan hal-hal di atas, pembanding melakukan analisis untuk mengemukakan penilainnya
tentang pendapat tersebut, baik menguatkan maupun melemahkan pendapat-pendapat
penafsir yang diperbandingkannya.[8]
Dari
urain terdahulu, dapat dipahami bahwa tafsir muqārin itu melingkupi
tiga perbandingan, baik antara ayat dan ayat Al-qur’an, ayat dengan hadis shahīh,
maupun antara satu penafsiran dan penafsiran yang lain tentang ayat Al-qur’an
yang sama. Untuk dapat mengenali lebih jauh mengenai tafsir muqārin ini,
berikut akan dibahas spesifikasinya.
B.
Karakteristik Tafsir Muqārin
Sebelum
membahas karakteristik tafsir muqārin ini, terlebih dahulu akan di
kemukakan beberpa factor yang mendorong lahirnya, yaitu sebagai berikut:
1.
Al-qur’an
menyatakan dirinya sebagai satu kitab yang mencakup segala sesuatu,[9]
padahal ia merupakan kitab yang ringkas. Oleh karena itu, jika benar ia
menacakup segala sesuatu, maka redaksi yang digunakannya tentulah sangat
cermat, baik susunan kalimatnya, sitematikanya, maupun kata-katanya.[10]
Dengan demikian, perbedaan redaksi Al-qur’an, sekecil apa pun adanya diduga punya pengertian yang berbeda
pula.
2.
Al-qur’an
juga menyatakan dirinya bebas dari kontradiksi.[11]
Oleh karena itu, perbedaan redaksi tidak boleh memberikan pengertian
kontradiktif. Untuk membuktikan bahwa al-qur’an itu terhindar dari pertentangan
di antara ayat-ayatnya, salah satu caranya dengan membandingkannya.
3.
Hadis
shahīh tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an, sedangkan yang
diperbandingkan dalam tafsir muqārin ini hanya hadis yang shahīh yang tampaknya bertentangan.
Perbandingan ini di sisi lain dapat dijadikan sarana kritik hadis dari segi matn.
4.
Ada
kemungkinan bahwa hasil penafsiran seorang penafsir berbeda dengan hasil
penafsiran penafsiran yang lain dalam banyak hal. Oleh karena itu, dengan
membandingkan antara penafsiran para penafsir tersebut, akan memberikan
pemahaman yang lebih lengkap dan dapat diketahui kesalahan-kesalahan yang
mungkin terjadi.
Berkenaan dengan redaksi Al-qur’an yang mirip antara satu ayat
dengan ayat yang lainnya, az-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi,[12]
yang diringkas sebagai berikut:
1. Variasi letak dalam kalimat:
وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّ a. Surāh al-Baqarah ayat 58:
وَقُولُوا حِطَّةٌ
وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًاb. Surāh
al-An’ām ayat
161:
2. Variasi jumlah huruf:
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ
أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْa. Surāh al-Baqarah ayat enam:
وَسَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ
أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْb. Surāh
Yās̄in ayat 10:
3.Variasi keterdahuluan:
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا
تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلa. Surāh al-Baqarah ayat 48:
مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلَا
يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا
تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ b. Surāh al-Baqarah ayat 123:
مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ
4.Variasi Ma’rifah dan Nakirah:
وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّa. Surāh al-Baqarah ayat 123:
وَيَقْتُلُونَ
الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّb. Surāh Āli ‘Imrān ayat 112:
5.Variasi antara Jamak dan Mufrad:
وَقَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُودَةًa. Surāh al-Baqarah ayat 80:
قَالُوا لَنْ تَمَسَّنَا
النَّارُ إِلَّا أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍb. Surāh Āli ‘Imrān ayat 24:
6.Variasi pemilihan huruf:
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا
حَيْثُ شِئْتُمَاa. Surāh
al-Baqarah ayat
35:
اسْكُنْ أَنْتَ
وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَاb. Surāh al-A’rāf ayat 19:
7.Variasi pemilihan kata:
مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَاa. Surāh al-Baqarah ayat 170:
مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا b. Surāh Luqmān ayat 21:
8.Variasi dalam idgām:
لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَa. Surāh al-An’ām ayat 42:
لَعَلَّهُمْ يَضَّرَّعُونَb. Surāh al-A’rāf ayat 94:
Setelah
mengemukakan beberapa variasi redaksi ayat-ayat Al-qur’an yang mirip, berikut
ini akan dikemukakan contoh tafsir muqārin tersebut.
1.
Untuk
perbandingan ayat dengan ayat yang lainnya, terlebih dahulu diadakan
inventarisasi ayat-ayat yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi
sehubangan dengan kasus yang dibahas. Hal ini dilakukan mengingat variasi
redaksi dapat muncul dari kasus yang bervariasi pula.
a.
Contoh
perbandingan ayat yang mirip dalam kasus yang berbeda:
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ
إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا Surāh Āli ‘Imrān ayat 126:
النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ
إِلَّا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا Surāh al-Anfāl
ayat 10:
مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Ayat 126 Surāh Āli
‘Imrān di atas berkaitan
dengan pertolongan Allah pada orang-orang Islam dalam perang Uhud, sedangkan
ayat 10 Surāh al-Anfāl berkenaan
dengan pertolongan Allah pada orang-orang Islam dalam perang Badar. Variasi
keterdahuluan penempatan kata “bihií” dan penambahan kata “inna”
dimaksudkan (diduga) sebagai penekanan atau penegasan (tawkid) kandungan
utama ayat tersebut, yakni janji bantuan dari Allah swt. Bagi oarng-orang Islam
dalam perang Badar yang masih lemah, sedangkan pada ayat yang berkaitan dengan
perang Uhud tidak perlu ada tawkid, sebab orang-orang Islam sudut kuat
dan pertolongan Allah. Telah terbukti pada perang Badar.[13]
b.
Contoh perbandingan ayat-ayat yang membahas kasus yang sama,
tetapi redaksinya berbeda:
Surāh al-An’ām ayat 151:
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ
مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا
أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ
نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَمَا بَطَنَ وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ
Surāh al-Isrā ayat 31:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ
نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
Kedua
ayat ini berbicara tentang kasus yang sama, yaitu larangan membunuh anak-anak
karena alas an kemiskinan. Perbedaannya terletak pada sasaran ayat atau mitra
bicara (mukhātab). Mitrabicara ayat 151 Surāh al-An’ām adalah
orang-orang miskin, sehingga menggunakan ungkapan “min imlāq”, yang berarti
karena alas an kemiskinan atau “karena memang
sudah miskin”. Adapun mitra
bicara ayat 31 Surāh al-Isrā adalah
orang-orang kaya, sehingga menggunakan ungkapan “khasyyata imlāq”, yang
berarti khawatir menjadi miskin. Pada ayat pertama, penggunaan kata ganti “kum”
didahulukan, dengan maksud menghilangkan kekhawatiran orang miskin bahwa mereka
tidak mampu memberi nafkah pada anak-anak mereka, sedangkan pada ayat yang
kedua kata ganti “hum” didahulukan, supaya orang kaya yakin bahwa yang
memberi rezeki anak-anaknya itu adalah Allah swt., bukan orang kaya itu
sendiri.[14]
2.
Untuk
perbandingan ayat Al-qur’an dengan hadis, terlebih dahulu dilakukan penilaian
terhadap kualitas hadis itu sendiri, karena kalau ternyata hadis itu
berkualitas hasan atau dha’īf, tidaklah perlu diperbandingkan
dengan ayat Al-qur’an. Jika antara keduanya terlihat bertentangan, maka hadis
yang kualitasnya hasan atau dha’īf
itu dapat diabaikan saja. Tetapi
apabila ternyata hadis itu berkualitas shahīh dan terlihat bertentangan
atau berbeda dengan ayat Al-qur’an, maka perlu diperbandingkan.
Contoh perbandingan ayat Al-qur’an dengan hadis:
Al-qur’an
Surāh
an-Nahl ayat 32: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ
Hadis Rasulullah yang berbunyi: لَنْ يَدْخُلَ
أَحَدُكُمْ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ
Mahmoud
Ayyoub dengan mengutip pendapat az-Zarkasyi menjelaskan perbandingannya bahwa orang masuk surga
memang bukan karena amalnya, tetapi yang dimaksud oleh ayat 32 Surāh an-Nahl itu adalah amal seseorang itu menentukan tingkatan
surga yang akan dimasuki. Sedangkan penjelasan dari segi bahasa, bā
pada ayat itu bermakna imbalan (muqābalah), sedangkan yang ada dalam
hadis tadi bermakna “sababiyyahí”.[15]
3.
Untuk
perbandingan antara penafsiran berbagai penafsir mengenai ayat-ayat yang sama,
dapat dilakukan dengan mengambil beberapa buah kitab tafsir, lalu membandingkan
penafsiran mereka terhadap ayat yang sama.
Salah
satu buku yang menerapkan tafsir muqārin adalah: Konsep Perbuatan
Manusia Menurut Qur’an, karya Jalaluddi Rahman, yang meneliti penafsiran “Kasb”
dfalam kitab tafsir, yakni: Tafsir al-Baydhāwiy (Ahl as-Sunnah),
Tafsir al-Kasysyāf (Mu’tazilah) dan Tafsit al-Manār
(Pembaharu).[16]
Sedangkan tafsir yang secara khusus menerapkan cara ini adalah The Qur’an and
Its Interpretrsi, karya Mahmuod Ayoub,
yang membandingkan penafsiran ayat-ayat Al-qur’an secara berurutan.
Dari uraian terdahulu dapat diketahui perbedaan tafsir muqārin ini
dengan tafsir-tafsir lainnya, yang mana ciri khususnya adalah dalam membandingkan
antara dua ayat yang redaksinya mirip, padahal membahas dua hal atau dua kasus
yang berbeda, atau dua ayat yang berbeda, padahal (diduga) membahas kasus yang
sama, atau membandingkan antara ayat dengan hadis yang diketahui berkualitas shahīh,
namun antara keduanya terlihat perbedaan, bahkan mungkin terlihat bertentangan,
atau membandingkan penafsiran-penafsiran para penafsir terhadap ayat yang sama.
Tafsir muqārin ini dapat menambah wawasan orang
terhadap kandungan Al-qur’an, namun tidak mengarahkan pandangannya kepada
petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkan itu, kecuali
dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional.[17]
C.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqārin (Komparatif)
1.
Kelebihan
Di antara kelebihan metode ini ialah:
a.
Memberikan
wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila
dibandingkan dengan metode-metode lain.
b.
Membuka
pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang
kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang
kontradiktif.
c.
Tafsir
dengan metode komparatif ini amat berguna bagi mereka yanag ingin mengetahui
berbagai pendapat tentang suatu ayat.
d.
Dengan
menggunakan metode komparatif, maka mufasir didorong untuk mengaji berbagai
ayat dan hadis serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.[18]
2.
Kekurangan
Di antara kekurangan metode ini adalah:
a.
Penafsiran
yang memakai metode komparatif tidak dapat diberikan kepada para pemula.
b.
Metode
komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang
tumbuh di tengah masyarakat.[19]
D.
Pengertian Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Tafsir
al-maudhu’i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-qur’an
al-Karim yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun
ayat-ayatnya yang juga bisa disebut metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian
melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara
tertentu, dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan
makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya, serta menghubung-hubungkan
antara yang satu dan yang lainnya dengan
korelasi yang bersifat komprehensif.[20]
Metode
tematik ialah membahas ayat-ayat Al-qur’an sesuai dengan tema atau judul yang
tekah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab
al-nuzūl, kosakata dan sebagainya. Semua dijelaskan secara rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argument itu berasal dari Al-qur’an,
hadis, maupun pemikiran rasional.[21]
Dari pengertian
diatas maka pengertian tafsir al-Maudhu’i adalah cara mengkaji dan mempelajari
ayat Al-qur’an dengan menghimpun ayat-ayat Al-qur’an yang mempunyai maksud
sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya
berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir
mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[22]
E.
Ciri-ciri Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Al-Maudhu’i atau yang sidebut dengan tematik ini mempunyai ciri
utama yaitu:
1.
Menonjolkan
tema, judul atau topik pembahasan.
2.
Tema
yang dipilih dikaji secara tuntas dan menyeluruh.
3.
Dilengkapi
Hadis Nabi, pendapat sahabat, ulama.[23]
F.
Bentuk Kajian dan Penyajian Metode Tafsir al-Maudhu’i (Tematik).
Bentuk
kajian metode tafsir al-Maudhu’i (Tematik) ada yaitu: Pertama,
penafsiran mengenai satu surat dalam Al-qur’an dengan menjelaskan maksudnya
yang bersifat umum dan khusus. Menjelaskan korelasi antara masalah yang
dikandungnya sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh
dan cermat, penafsirna ini juga disebut dengan tafsir tematik persurat.
Kedua, menghimpun
sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah
tertentu. Selanjutnya ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan
dibawah satu tema bahasan dan selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu’i.[24]
Adapun
dalam perkembangannya metode tafsir
al-Maudhu’i mengambil dua bentuk penyajian: Pertama, penyajian kotak
yang berisi pesan-pesan Al-qur’anyang terdapat pada ayat-ayat yang terangkuk
pada satu surat. Misalnya, pesan pada surat al-Baqarah, Ali Imran, atau Yasin.
Biasanya, kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang pesannya
dirangkum selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasulullah.
Kedua, penyajian
kedua dari metode al-Maudhu’i mulai berkembang pada tahun enam puluhan yang
dilator belakangi oelh kesadaran para pakar bahwa menghimpun pesan-pesan Al-qur’an
yang terdapat pada suatu surat belum menuntaskan suatu persoalan.[25]
G.
Cara Kerja Metode Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Langkah-langkah
yang harus ditempuh untuk menafsirkan Al-qur’an dengan metode tafsir
a;-Maudhu’i dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Memilih
atau menetapkan masalah Al-qur’an yang akan dikaji (topik) secara tematik
(al-Maudhu’i).
2.
Melacak dan
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan.
3.
Menyusun runtutan ayat-ayat tersebut menurut
kronologis masa turunnya disertai dengan pengetahuan tenatang asbāb an-nuzūl-nya.
4.
Mengetahui
korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing suratnya.
5.
Menyusun
bahasan dalam kerangka yang sistematis, sempurna dan utuh.
6.
Melengkapi
bahasan dengan uraian hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
7.
Mempelajari
ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan menghimpun ayat-ayat
yang serupa masa lalu mengkompromikan antara pengertian yang ‘am (umum)
dengan khas (khusus), antara yang muthlaq dengan muqayyad
(terikat), mensinkronkan antara ayat-ayat yang tampak kontrakdiktif ssehingga
semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan dan pemaksaan.
8.
Melahirkan
konsep yang utuh dari Al-qur’an tentang satu topik masalah yang telah dipilih
sebelumnya.
Menurut analisa M. Quraish Shihab, meskipun dalam kerja metode
tafsir ini secara tegas tidak mengharuskan mufassir untuk menguraikan
kosa kata, namun kesempurnaan pemahaman ayat akan didapat apabila sejak awal
sang mufassir berusaha memahami kosa kata atau pengungkapan ayat
tersebut dengan menjelaskan bentuk dan kedudukan i’rab misalnya dengan
merujuk pada kitab-kitab atau kamus bahasa Al-qur’an dan sejenisnya.[26]
H.
Perbedaan Metode Tafsir al-Maudhu’i (Tematik) Dengan Metode Tahlili.
Tafisir
Tahlili (analitis) menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-qur’an dari seluruh
aspeknya, sedangkan tafsir al-Maudhu’i (Tematik) membahas tentang
masalah-masalah Al-qur’an al-Karim yang memiliki kesatuan makna atau tujuan
dengan cara menghimpun ayat-ayat.
Maka
tafsir al-Maudhu’i (Tematik) dengan jelas bisa dikatakan mempunyai perbedaan
dengan Tafisir Tahlili (analitis), perbedaanya sebagai berikut:
1.
Mufassir
Maudhu’i dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf
tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian,
sedangakan mufassir Tahlili memerhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam
mushaf.
2.
Mufassir
Maudhu’i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat,
namun hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan
atau judul yang telah ditetapkannya. Selain itu Mufassir Maudhu’i dalam
pembahasannnya tidak mencantumkan arti kosa kata, sebab nuzul, munasabah ayat
dari segi sistematikan perututan kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh
pokok bahasannya. Sedangkan mufassir Tahlili berusaha untuk berbicara
menyangkut segala sesuetu yang ditemukannnya dalam setiap ayat. Sebagai
konsekuensinya, mereka mencantumkan arti, kosa kata, sebab nuzul serta
munasabat ayat.
3.
Mufassir
Maudhu’i berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi
pokok bahasannya. Mufassir Tahlili menganalisa ayat-ayat secara sendiri-sendiri
sehingga persoalannya tidak tuntas dibahas, karena ayat yang sering ditafsirkan
sering dijumpai pada ayat surat itu atau surat lain.[27]
Tafsir tematik (al-Maudhu’i) dianggap sebagai pelengkap tafsir tahlili,
yang dinilai kurang fokus dan paripurna dalam mengkaji ayat-ayat Al-qur’an.
Secara umum, metode tafsir al-maudhu’i sangat disukai oleh para pengkaji
tafsir belakangan. Menurut al-Farmawi, tafsir ini diperkenalkan pertama
kali oleh Ahmad Sayyid al-Kumi. Sedangkan kalau kita meruntut
sejarah tafsir, sejak era klasik metode maudhu’i
ternyata sudah banyak digunakan oleh para pengkaji Al-qur’an seperti
kitab-kitab tafsir Ayat al-Ahkam, kitab-kitab yang mengkaji Nasikh-Mansukh,
I’jaz al-qur’an, sastra (balaghah), dan kitab-kitab tafsir
lainnya yang membahas salah satu sisi dari Al-qur’an.[28]
I.
Kelebihan dan Kekurangan Metode al-Maudhu’i (Tematik)
1.
Kelebihan
Diantara
kelebihan tafsir ini ialah sebagai berikut:
a.
Menjawab
Tantangan Zaman
Permasalahan dalam kehidupan semakin tumbuh dan berkembang, semakin
modern kehidupan, permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit serta
punya dampak yang luas. Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, kajian
maudhu’i ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
b.
Praktis
dan Sistematis
Tafsir
ini disusun secara
c.
Dinamis
d.
Membuat
Pemahaman Menjadi Utuh
2.
Kekurangan
Di
samping mempunyai kelebihan, metode ini juga tak lepas dari kekurangan yang
antara lain adalah:
a. Memanggal ayat Al-qur’an
Memanggal ayat ayat yang dimaksud disini adalah mengambil satu
kasus yang terdapat di dalam satu atau lebih yang mengandung banyak
permasalahan yang berbeda. Midsalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat.
Biasanya kedua ibadah di ungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin
membahas kajian tentang zakat, misalnya, maka mau tak mau ayat tentang shalat
harus di tinggalkan.
b. Membatasi pemahaman ayat
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat
menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufasir
terikat oleh judul itu. [29]
J.
Kitab-kitab Tafsir al-Maudhu’i (Tematik)
Terdapat
kitab-kitab klsik ataupun modern yag menerapkan metode tafsir al-Maudhu’i ini.
Diantara mufassir yang karyanya pada masa klasik yaitu.
1.
Ibnul
Qayyim: at-Tibyan fi Aqsamil Qur’an.
2.
Abu
Ubaidah: Mufradatul Qur’an.
3.
Abu
Jafar an-Nahas: an-Nasikh wal Mansukh.
4.
Abu
Hasan al Wahidi: As-bābun Nuzūl.
5.
Al-Jassas:
Ahkamu al- Qur’an.
Beberapa ahli tafsir modern banyak pula menrapkan metode tafsir
al-maudhu’i. diantara tokoh tersebut yaitu:
1.
Prof.
Dr. al-Husairi Abu Farhah: al-Futuhat al Rabbaniya fi al-Tafsīr al-Maudhu’i
al-Ayat al-Qur’aniyyah.
2.
Prof.
Dr. Abdul Hay Al-Farmāwy: al-Bidāyah fi al-Tafsīr al-Maudhu’i.[30]
Selain daftar diatas masih banyak kitab-kitab tafsir yang
menggunakan metode maudhu’i diantaranya:
1.
Al-Ustadz
Mahmud al-Aqqad: Al-Mar’ah fi al- Qur’an.
2.
Muhammad
Biltaji: Makanah al-Mar’ah fi al-Qur’an al-Karīm wa as-sunnah al-Shaẖiẖah.
3.
Ayatullah
al-syekh Muhammad al-Yazdi: Ushūl ad-Din wa Ushūl al-Imān fi al-Qur’an.
4.
Abu
al’A’la al-Maududi: Ar-Ribi fi al-Qur’an.
5.
Dr.
Kamil Salamah: Ayat al-Jihād fi al-Qur’an al-Karīm Dirasatan
Maudhu’iyyatan wa Takhriyyatan wa Bayaniyyatan.
6.
Syekh
Muhammad al-Ghazali: al-Daqs’ Nahw Tafsīr Mawdhu’i li-Suwaral-Qur’an
al-Karīm.[31]
BAB III
Penutup
Salah
satu metode penafsiran Al-qur’an adalah at-Tafsir
al-Muqārin, yaitu penafsiran Al-qur’an dengan cara melakukan perbandingan
antara ayat dengan ayat yang membahas masalah yang berbeda dengan redaksi yang
mirip, atau membahas masalah yang sama (diduga sama), tetapi menggunakan
redaksi yang berbeda, atau membandingkan beberapa penafsiran para penafsir
terhadap ayat yang sama.
Dengan
segala kelebihan dan keterbatasannya, at-Tafsir al-Muqārin ini
merupakan khazanah intelektual Islam yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas
wawasan kita terhadap Al-qur’an.
Adapun al-Tafsīr al-Maudhu’i atau tafsir tematis yang dapat
berupa penafsiran satu surah dengan tema yang di dalamnya ada tema-tema kecil,
atau berupa mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan denagn tema tertentu, lalu
mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut, menyusunnya
berdasarkan runtutan turunnya, kemudian membahasnya dalam satu bahasa dengan
memperhatikan sabab nuzl dan korelasi ayat dengan ayat sebelumnya dan
sesudahnya dan pengertian kosakatanya, agar diperoleh gambaran yang jelas
mengenai petunjuk ayat-ayat yang ditafsirkan dan dapat mengambil kesimpulan
yang benar. Tafsir tematis dalam bentuk yang kedua ini, temanya dapat diangkat dari ungkapan yang digunakan
oleh Al-qur’an sendiri, atau dapat pula berdasrkan tema yang merupakan pemahaman
mufasirnya terhadap konsep-konsep Al-qur’an.
Daftar Pustaka
Anīs, Ibrāhīm, Al-Mu’jam al-Wasīth, T.d.
Ayoub, Mahmuod,
The Qur’an and Its Interpretrsi, Arberry: State University of New York
Press, 1984.
Bagir, Haidar, Metode Komparatif
dalam Tafsir Al-qur’an: Sebuah Pengantar” dalam al-Hikmah, Bandung:
Yayasan Muthahhari, 1990.
Baidan, Nashruddin, Metode
Penafsiran Al-Qur’an Yogayakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
________________, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogayakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Barni, Mahyuddin, Kajian
Tematik Ayat-Ayat Al-Quran Banjarmasin: Antasari Press, 2007.
Diseratsi
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diterbitkan pertama kali
oleh Bulan Bintang Jakarta, tahun 1992.
Djalal, Abdul, Urgensi
Tafsir Maudlu’i Pada Masa Kini Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
AL-Farmāwiy, ‘Abd al-Hayy, Al-Bidāyah fi at-Tafsīr
al-Mawdhū’I, Al-Qāhirah: Jāmi’ah al-Azhar, 2005.
Hasan, Ahmad Fuad dkk, Qawaid At-Tafsir, Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2014.
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung:
Tafakur, 2011.
Khatīb, Ahmad, Dirāsāt fi al-Qur’ān, Mishr: Dār al-Ma’ārif, 1972.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-qur’an, Bandung: Mizan,
1992.
Rohimin,
Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Asy-Syāthiby, Abû
Ishāq, Al-Muwāfaqāt fi Ushûl asy-Syarī’ah, Mishr: al-Maktabah
at-Tijāriyyah al-Kubrā, t.th.
Az-Zarkasyi, Badr
ad-Dīn Muhammad bin ‘Abdullah , Al-Burhān
fi ‘Ulûm al-Qur’ān, Al-Qāhirah: Musthafā al-Bābī al-Halabiy, 1957.
[1] Lihat Q.S.
al-Baqarah ayat 185.
[2]Lihat Q.S.
an-Naẖal ayat 44. Lihat juga Abû Ishāq asy-Syāthiby, Al-Muwāfaqāt fi
Ushûl asy-Syarī’ah, jilid 4, (Mishr: al-Maktabah at-Tijāriyyah
al-Kubrā, t.th), h 26.
[3]Ahmad Khatīb, Dirāsāt
fi al-Qur’ān, (Mishr: Dār
al-Ma’ārif, 1972), h 111.
[4]Ibrāhīm
Anīs, Al-Mu’jam al-Wasīth, juz 2, (T.d.), h 730.
[5] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h 110. Lihat juga
‘Abd al-Hayy al-Farmāwiy, Al-Bidāyah fi at-Tafsīr al-Mawdhū’I,
(Al-Qāhirah: Jāmi’ah al-Azhar, 2005), h 35. Lihat juga Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar,
2002), h 72.
[6] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-qur’an, h 118.
[7] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-qur’an, h 119.
[8]M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-qur’an, h 119-120.
[9]Lihat Q.S. al-An’ām
ayat 38. Yang artinya: “Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam
al-Kitāb (Al-qur’an).
[10]Lihat Q.S. Hûd
ayat satu, Allah menyatakan Al-qur’an itu ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara rinci, diturunkan disisi Yang Maha bijak lagi Maha
Mengetahui.
[11]Lihat Q.S. an-Nisā
ayat 82 yang artinya: “ Maka tidaklah mereka menghayati (mendalami)
Al-qur’an ? Sekiranya (Al-qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka
menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya”.
[12]Badr ad-Dīn
Muhammad bin ‘Abdullah az-Zarkasyi, Al-Burhān
fi ‘Ulûm al-Qur’ān, Juz 1, (Al-Qāhirah: Musthafā al-Bābī al-Halabiy,
1957), h 115-132.
[13]Haidar Bagir, Metode
Komparatif dalam Tafsir Al-qur’an: Sebuah Pengantar” dalam al-Hikmah,
(Bandung: Yayasan Muthahhari, 1990), h
27.
[14] az-Zarkasyi, Al-Burhān
fi ‘Ulûm al-Qur’ān, h 67.
[15]Mahmuod Ayoub, The
Qur’an and Its Interpretrsi, Jilid 1, (Arberry: State University of New
York Press, 1984), h 27.
[16]Diseratsi
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diterbitkan pertama kali
oleh Bulan Bintang Jakarta, tahun 1992.
[17] M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-qur’an, h 119-120.
[18]
Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran, Nashruddin Baidan,
Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,
(Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Ct. ke-2, h 142-143.
[20]Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), Ct. ke-3, h.
114. Lihat juga Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran, h 72. Lihat juga
Mahyuddin Barni, Kajian Tematik Ayat-Ayat Al-Quran, (Banjarmasin:
Antasari Press, 2007), h 12. Lihat
juga Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudlu’i Pada Masa Kini, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1990), h 83.
[21]Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran, h 151.
[22]Rohimin,
Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 75
[23]Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran,
h 152.
[24]Ahmad Fuad
Hasan dkk, Qawaid At-Tafsir, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), h 371.
[29]Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran, h 168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar