Integrasi Ilmu (Ilmu dalam Persepkif Islam
A.
Pendahuluan
Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat
keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu
pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Einsten mengatakan bahwa “science
without religion is blind and religion without science islame”, ilmu tanpa
agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan
yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama saja berasal
dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap
ilmu pengetahuan. hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan sumber dan rujukan
utama, ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu
umum maupun ilmu agama.
Pemikiran tentang integrasi
atau islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini dilakukan oleh kalangan
intelektual muslim. Secara totalitas, hal ini dilakukan di tengah ramainya
dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
sebuah konsep bahwa umat Islam akan maju dapat menyusul dan menyamai
orang-orang Barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual
terhadap ilmu pengetahuan.
Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai sekuler,
oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu tersebut harus
dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.
B.
Pengertian Integrasi dan Ilmu
Kata intigrasi dalam kamus bahasa Indonesia di artikan dengan pembaruan
hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.[1]
Kalau dalam kamus bahasa Inggri integrasion
yang artinya penggabungan.[2] Pengertian
Dan Model Integrasi Keilmuan Salah satu istilah yang paling popular dipakai
dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata
“Islamisasi”. Menurut Echols dan Hasan Sadily,
kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti
pengislaman. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman,
dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek
lainnya.[3]
Adapun pengertian ilmu secara umum adalah merupakan kumpulan pengetahuan,
maka pengertian ilmu pengetahuan adalah suatu pengetahun tentang objek tertentu
yang disusun secara sistematis sebagai hasil penelitian dengan menggunakan
metode tertentu, ilmu pengetahuan memilki objek penelitian manusia. Kedua objek
tersebut disebut objek formal.[4] Jalaluddin
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kelanjutan konseptual dan ciri “ingin
tahu” sebagai kodrat manusiawi.[5]
C.
Pendekatan Integrasi ilmu dan Islam
Pengetahuan ilmiah dan filsafat
Yunani ke dunia Islam, dan penyerapan serta pengentegrasian pengetahuan itu
oleh umat Islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik.[6]
Selain adanya perkembangan ilmu yang dapat dikategorikan ke dalam bidang ekskta, matematika, fisika,
kimia, geomitri, dan lain sebagainya, dan juga bidang ilmu-ilmu keislaman baik
dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan disiplin ilmu lainnya. Dalam
konteks Islamisasi, ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada
prinsip tauhid adalah pencari ilmunya, bukan ilmu itu sendiri. Karena yang
menentukan adalah manusia, manusialah yang menghayati ilmu. Penghayatan para
pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya beroientasi pada
nilai-nilai Islam ataukah tidak. Lebih
lanjut, Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Faruqi, menghendaki adanya
hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Dalam konteks ini,
untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, umat Islam
harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realistasnya, saat ini, ilmu
pengethuanlah yang amat berperan dalam menentukan kemajuan
umat manusia.
Sejak abad kemunduran Islam
(abad ke-12 M), karena para penguasa Muslim kurang memberikan penghargaan
terhadap ilmu pengethuan hingga akhir abad ke-16, dimana mulai terputus
hubungan antara Dunia Islam dengan aliran utama dalam sains dan teknologi, umat
Islam sangat tertinggal jauh dibanding masyarakat Barat,
justru mereka mulai bengkit dari kegelapan pengetahuan setelah sekian lama
terbelenggu dalam indoktrinasi teologi Kristiani. Selain masalah ketertinggalan
dalam penguasaan ilmu pengetahuan, hal terbesar yang dihadapi umat Islam
dewasa ini adalah berkaitan dengan paradigma
berfikir. Umat Islam masih berpikir secara absurd. Bukan justru mengembangkan
wacana-wacana keimanan, kemanusiaan, dan pengetahuan. Ini jelas menunjukan
sebuah pola berpikir partikularistik dan ritualistik.[7]
Pendekatan Integrasi ilmu dan Islam suatu pendekatan integratif-interkonektif
merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan antara keilmuan umum dan
agama. Pendekatan ini di bagi menjadi tiga corak. Yaitu paralel, lincar, dan
sirkular.
1.
Pendekatan paralel masing-masing corak
keilmuan umum agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan
antara satu dengan yang lainnya.
2.
Pendekatan lincar, salah satu keduanya akan
menjadi primadona sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
3.
Pendekatan sirkular, masing-masing corak
keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan pada tiap-tiap
keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dan temuan- temuan yang
ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memilki kemampuan untuk
memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[8]
D.
Pengertian Islamisasi Ilmu
Tokoh-tokoh islamisasi ilmu memberikan
pengertian sendiri istilah ini, sesuai latar belakang dan keahlian masing-masing. Menurut Sayed
Husein Nasr, islamisasi ilmu termasuk juga islamisasi budaya adalah upaya
menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat
muslim di mana mereka tinggal. Artinya,
islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara pikir dan
bertindak (epistemologi dan aksiologi)
masyarakat Barat dan muslim.[9]
Menurut Hanna Djumhana Bastaman adalah upaya
menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti mengehubungkan
kembali sunnatullah (hukum alam) dengan al-Qur’an, yang keduanya
sama-sama ayat Tuhan.
Adapun menurut Naquib al-Attas islamisasi ilmu
adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan
prinsip-prinsip sekuler, sehingga terbentuk ilmu pengetahuan baru yang sesuai
fitrah Islam. islamisasi ilmu menurutnya berkenaan dengan perubahan ontologis
dan epistemologis, terkait dengan perubahan cara pandang dunia yang merupakan dasar lahirnya ilmu dan
metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam.
Sedangkan menurut Faruqi adalah mengislamkan
disiplin-disiplin ilmu, atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan ( buku
dasar) di perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin ilmu
modern dalam wawasan Islam.
Berdasarkan pengertian di atas, islamisasi
ilmu berarti upaya membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai
Islam, baik pada aspek ontologis, epistemologis atau aksiologis.[10]
Upaya untuk melakukan islamisasi ilmu pertama
kali diangkat Sayid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an.
Saat itu Nasr berbicara dan membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu keislaman
dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika.[11]
E.
Islamisasi Ilmu
Amin Abdullah merasa bahwa kegiatan aktivitas pendidikan
dan keilmuan di Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama di tanah air
dewasa ini mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan abad renaissance hinggan
era revolusi informasi. Yang mana hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu
serakah mengauasai perilaku cerdik pandai. Praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual
distrust pun mewabah dimana-mana. Ini menandakan adanya jarak
yang cukup jauh antara dua aspek keagaam yang sering dipahami sebagai normative
dan historis. Dari aspek normatifnya, agama mewajibkan pemeluknya untuk
melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangannya. Akan tetapi, jika pada
kenyataannya perilaku pemeluknya berbeda dari yang perintahkan oleh agama. Maka
itu mengindisikasikan adanya keterputusan atau ketimpangan dalam beragama. Jika
sudah demikkian, pertanyaannnya adalah di mana peran pendidikan, utamanya
pendidikan agama.
Di
era global ini, para agamawan terkesan tidak dapat menjadi pelaku perubahan,
melainkan hanya penonton dalam kemajuan teknologi dan sebagainya. Begitu pun
sebaliknya, para ilmuwan-ilmuwan, termasuk para cerdik pandai semakin jauh dari
moral dan etik. Akhirnya, timbul tipologi antara agamawan saja dan ilmuwan
saja. Padahal jauh sebelumnya, dalam kependidikan Islam telah terpola
pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik yang
dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu
Khaldun. Yang selain mereka adalah agamawan juga ilmuwan-ilmuwan yang sudah
barang tentu selain memahami agama dengan berbagai moral dan etiknya, juga
memnguasai keilmuan-keilmuan lainnya yang notabenenya di luar lingkup agama.
Para tokoh ini berhasil memadukan serta mengkorelasikan keilmuan-keilmuan yang
mereka miliki.[12]
Untuk
mengembalikan paradigma pendidikan yang integrative ini dengan pendekatannya
yaitu integratif-interkonektifnya. Ia menekankan bahwa kebutuhan dan perlunya
segera adanya interaksi dan interkomunikasi dengan teori-teori dan
metodologi-metodologi yang telah digunakan pada disiplin-disiplin ilmu yang
lain yang berada di luar lingkarannya batasnya sendiri. Dengan mencangkokkan
teori-teori tersebut, memungkinkan terjadi perluasan horizon dan wawasan
keilmuan seseorang. Ketika interaksi dan interkomunikasi antar dispilin ilmu
ini berlangsung, akan ada perubahan besar pada cara kita mempertanyakan
problem-problem akademik. Dan bukan tidak mungkin yang
juga menjadi harapan dengan adanya interaksi serta interkomunikasi ini bisa
mengembalikan kembali peradigma keilmuan yang integrative yang mampu menjadikan
manusia sesuai dengan perannya di muka bumi, yang selain sebagai sebagai
seorang hamba juga sebagai khalifah di bumi.[13]
Selain itu, paradigma interkoneksitas ini memberikan argumen dalam
pemahaman menghadapi kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan
yang dihadapi dan dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan
apapun harus melakukan komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan
yang ada, baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman
tidak akan mampu kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan
permasalahannya, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain,
oleh karena itu perasaan merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan
mengakibatkan pemikiran sikap yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau
dapat diistilahkan dengan egoisme disiplin keilmuan. Sikap saling kerjasama,
saling tegur sapa, merasa saling membutuhkan, saling koreksi dan saling
keterhubungan antar disiplin keilmuan lebih dapat membantu manusia dalam
memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang
dihadapinya. Sedangkan paradigma integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan
berharap tidak akan memunculkan kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan
yang dimaksud dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang
lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau
sebaliknya. Paradigma interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan
yang lebih unggul yakni modest, humility dan
humanis.[14]
Paradigma interkonektif-integratif ini dapat
dipahami sebagai upaya membangun kerjasama yang efektif dan mendalam sedemikian
rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga terjadi komunikasi efektif
membuka tirai-tirai dari bangunan-bangunan keilmuan, baik keilmuan agama,
keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Sedangkan untuk mengurai krisis
relevansi dalam perkembangan ilmu-ilmu sekuler diberikan konsep gerakan rapprochement yakni
kesediaan untuk saling menerima keberadaan kubu-kubu keilmuan yang lain dengan
lapang dada. Gerakan ini disebut juga gerakan penyatuan atau reintegrasi
epistemologi keilmuan. Lebih lanjut, Amin Abdullah memberi catatan, bahwa:
Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar
menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu
holistic-integralistik), itu tidak berakibat mengecilkan peran Tuhan
(sekuralisme) atau mengucilkan manusia teraleniasi dari dirinya sendiri dari
masyarakat sekitar dan lingkungan sekitarnya.
Amin Abdullah
memandang bahwa integrasi ilmu keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan
memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya
ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu diperlukan usaha yang lebih arif dan
bijaksana, yaitu adalah usaha memahami kompleksitas fenomina kehidupan yang
dihadapi dan dijalani manusia, sehingga setiap bangunan keilmuan apa pun, baik keilmuan agama, keilmuan
sosial, homaniora maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Maka dibutuhkan
kerja sama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling mengoreksi, dan
saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[15] terjadinya
integrasi keilmuan yang oleh Amin Abdullah didekatinya dengan pendekatan
integratif-interkonektif ini bukan berarti antar satu keilmuan dengan keilmuan
lainnya saling bersaing untuk saling mendominasi dan mempengaruhi. Bahkan
sebaliknya, yang dikehendaki adalah antara satu keilmuan dengan keilmuan
lainnya saling melengkapi. karena sama halnya dengan manusia yang tidak bisa
hidup sendiri tanpa orang lain, ilmu pun demikian yang tidak bisa berdiri
sendiri tanpa bertegur sapa dengan ilmu lain.
Konsep “Jaring
Laba-laba” yang merupakan metafora simplifikasi konsep paradigma keilmuan
Integrasi-Interkoneksi, merupakan sebuah pendekatan dalam pembidangan
matakuliah yang mencakup tiga dimensi pengembangan ilmu.

Gambar konsep
Jaring Laba-laba
.
Sebagai penggagas ”madzhab integrasi-interkoneksi” ini,
Amin
Abdullah menyatakan bahwa proses mempertemukan “ilmu agama” dan
“ilmu sekuler” ini bukan karena alasan pragmatis semata. Ia lahir melalui
proses sejarah intelektual yang sangat panjang. Pola pikir ke arah pola triadik
bayani, irfani, dan burhani-nya al Jabiri perlu dilakukan dengan menggunakan
metodologi lingkaran hermeneutika.[16]
Selain itu, keilmuan Islam yang ada saat ini,
selain dihadapkan pada fenomena pendikotomian dengan ilmu umum, juga dihadapkan
pada tidak adanya upaya perluasan serta pemekaran dalam pengembangan yang
mendorong kemajuan dan pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman.[17]
Adapun Konsep Pohon Ilmu diperkenalkan oleh salah satu perguruan tinggi
negeri yakni UIN Maliki Malang yaitu Imam
Suparyogo. Ilmu
yang dikembangkan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bersumber dari al-Qur’an
dan hadis Nabi.
Petunjuk al-Qur’an dan hadis yang masih bersifat konseptual selanjutnya
dikembangkan lewat kegiatan eksperimen, observasi dan pendekatan ilmiah
lainnya. Ilmu pengetahuan yang berbasis pada al-Qur’an dan al-Sunnah itulah
yang dikembangkan oleh UIN Maliki Malang. Jika menggunakan bahasa kontemporer
UIN Maliki Malang berusaha menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum dalam satu
kesatuan. Sesungguhnya UIN Malang tidak sepaham dengan dengan siapa saja yang
mengkategorikan ilmu agama dan ilmu umum. Sebab kategorisasi itu terasa janggal
atau rancu. Istilah umum adalah lawan kata dari khusus. Sedangkan agama,
khusnya islam tidak tepat dikategorikan sebagai ajaran yang bersifat khusu.
Sebab, lingkup ajarannya begitu luas dan bersifat universal, menyangkut
berbagai aspek kehidupan. Jika keduanya dipandang sebagain ilmu yang bersumber
dari wahyu, sedang ilmu umum berasal dari manusia.
Dalam perspektif bangunan kurikulum, struktur keilmuan
yang dikembangkan di UIN Maliki Malang menggunakan metafora sebuah pohon yang
kokoh dan rindang. Sebagaimana layaknya sebuag pohon menjadi kukuh, berdiri
tegak dan tidak mudah roboh dihempas angin jika memiliki akar yang kukuh dan
menghunjam ke bumi. Pohon yang berakar kuat itu akan
melahirkan batang yang kukuh pula. Batang yang kukuh akan melahirkan cabang dan
ranting yang kuat serta dan dan buah yang sehat dan segar.
Pohon dengan ciri-ciri itulah
yang dijadikan perumpamaan ilmu yang dikembangkan di Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
Agar
lebih jelas, pohon yang digunakan sebagai metafora bangunan keilmuan UIN Maliki
malang dapat digambarkan sebagai berikut: :
1. Akar yang kukuh
menghunjam ke bumi itu digunakan untuk menggambarkan kemampuan berbahasa asing
(Arab dan Inggris), logika dan filsafat, ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Bahasa
Asing yaitu Arab dan Inggris, harus dikuasai oleh setiap mahasiswa. Bahasa Arab
digunakan sebagai piranti mendalami ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan
hadis Nabi serta kitab-kitab berbahasa
Arab lainnya. Penggunaan bahasa Inggris dipandang penting sebagai bahasa ilmu
pengetahuan dan teknologi dan bahasa pergaulan internasional. Selanjutnya,
pendalaman terhadap pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kemampuan logika/filsafat,
ilmu alam dan ilmu sosial
perlu dikuasai oleh setiap mahasiswa agar dijadikan bekal dan instrument dalam
menganalisis dan memahami isi al-Qur’an, hadis maupun fenomena alam dan sosial yang dijadikan objek
kajian-kajiannya. Jika hal tersebut dikuasai secara baik, maka akan dapat
mengikuti kajian keilmuan selanjutnya secara mudah.
2. Batang
yang kukuh digunakan untuk menggambarkan ilmu-ilmu yang terkait dan bersumber
lansung dari al-Qur’an dan hadis Nabi. Yaitu, studi al-Qur’an, studi hadis,
pemikiran Islam, dan sirah Nabawiyah. Ilmu semacam ini hanya dapat dikaji dan
dipahami secara baik oleh mereka yang telah memiliki kemahiran bahasa Arab,
logika, ilmu alam dan ilmu sosial.
3.
Dahan dan ranting dari pohon yang kukuh dan rindang tersebut digunakan untuk
menggambarkan disiplin ilmu modern yang dipilih oleh setiap mahasiwa. Disiplin
ilmu ini bertujuan untuk mengembangkan aspek keahlian dan profesionalismenya.
Disiplin ilmu modern itu misalnya: ilmu kedokteran, filsafat, psikologi,
ekonomi, sosiologi, teknik serta cabang-cabang ilmu lainnya.
Pohon
selalu membutuhkan sari pati makanan yang diperoleh dari tanah, diserap oleh
akar, dibawa melalui batang ke dahan, ranting dan daun. Oleh daun sari pati
makanan itu diolah dengan bantuan sinar matahari yang disebut asimilasi. Hasil
olahan sari pati makanan itu dikirim ke seluruh bagian pohon agar tetap hidup
dan berkembang, dan selanjutnya berbuah. Begitu pula jika pohon itu digunakan
sebagai metafora bangunan ilmu. Tanah dimana pohon itu tumbuh, digunakan untuk
menggambarkan betapa pentingnya aspek kultural yang harus ada pada setiap upaya
pendidikan, lebih-lebih pendidikan agama Islam.
Selanjutnya, akar yang menghujam
ke bumi bertugas memperkokoh dan sekaligus mengambil sari pati makanan untuk
menggambarkan ilmu alat sebagai syarat bagi siapa saja yang mau mendalami
sumber ilmu ke-Islaman yaitu al-Qur’an dan hadis.[18]
Atas
dasar pandangan itu, keberhasilan seorang penyandang identitas ulul al bab
bukan terletak pada jumlah kekayaan, kekuasaan, sahabat, dan sanjungan. Sebagai
seorang yang selalu ingat pada Allah dan memiliki hati yang lembut,
maka mereka selalu mengajak pada kebaikan dan menghindarkan diri dari berbuat
yang tidak terpuji. Selanjutnya dengan ilmu dan profesi yang dimiliki, mereka
selalu menunaikan amanah dengan cara terbaik, atau beramal saleh. Pohon ilmu
diharapkan berbuah orang-orang yang beriman, berakhlak mulia, berilmu, dan
beramal saleh. Di mana pun dan kapan pun bahwa penyandang derajat setinggi itu
tidak akan membebani pada orang lain, tetapi justru sebaliknya, selalu memberi
manfaat bagi kehidupan ini.[19]

Gambar
konsep Pohon Ilmu
Disamping itu pula ada yang tidak menerima atau menolak
dengan adanya Islamisasi ilmu ini, dia merupakan seorang fisikawan muda yang
cukup dikenal di Universitas Quadiazam di Pakistan yang bernama Hoodbhoy, dia
berpandangan bahwa ilmu itu bebas nilai dan bersifat universal. Jadi tidak ada
yang disebut ilmu islami, dan semua upaya untuk mengislamkan ilmu itu akan
mengalami kegagalan.[20]
F.
Penutup
Konsep “Jaring
Laba-laba” yang merupakan metafora simplifikasi konsep paradigma keilmuan
Integrasi-Interkoneksi, merupakan sebuah pendekatan dalam pembidangan
matakuliah yang mencakup tiga dimensi pengembangan ilmu Sebagai penggagas
”madzhab integrasi-interkoneksi” ini, Amin Abdullah menyatakan bahwa proses mempertemukan “ilmu
agama” dan “ilmu sekuler” ini untuk mengembalikan paradigma pendidikan yang
integrative ini dengan pendekatannya yaitu integratif-interkonektifnya. Ia
menekankan bahwa kebutuhan dan perlunya segera adanya interaksi dan
interkomunikasi dengan teori-teori dan metodologi-metodologi yang telah
digunakan pada disiplin-disiplin ilmu yang lain.
Sedangkan pengembangan
keilmuan yang dilakukan Imam Imam Suparyogo yang terkonsep dalam pohon ilmu
yang terdiri dari bagian-bagian keilmuan, yaitu akar berupa ilmu-ilmu alat dan
batang berupa ilmu-ilmu sumber Islam, keduanya bersifat fardh ‘ain yang wajib
bagi seluruh mahasiswa dari berbagai jurusan untuk mempelajarinya. Dan
bagian dahan, ranting dan daun, yang bersifat fardh kifayah, artinya setiap
mahasiwa boleh mengambil secara berbeda antara yang satu dengan yang lain. Dan,
jika seorang mahasiswa sudah mengambil satu jenis fakultas tidak berkewajiban
untuk mengambil fakultas lainnya. Jenis ilmu yang digambarkan sebagai dahan
tersebut misalnya ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu
teknik, ilmu MIPA yang akan menghasilkan buah.Metapora berupa pohon yang
dikembangkan,dan harus menyebut buah pohon,maka buah itu adalah
ilmu, iman dan amal sholeh.
Upaya islamisasi ilmu ini merupakan untuk
membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan berwawasan
islam, baik pada aspek ontologis, epistemologis atau aksiologis. Yang mana
dipandang sangatlah penting pada dewasa ini, agar umat Islam tidak tertinggal
dari kemajuan keilmuan pada zaman sekarang ini yang semakin pesat dan
meningkat.
Daftar Pustaka
Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakrta, Pustaka Pelajar, 2011.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004..
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, Jakarta: PT Gramedia,
2005.
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan,
Jakarta: Grafindo Persada, 2013.
Kartanegara, Mulyhadi, Mengislamkan Nalar, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2007.
Sip, Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Bandung: Agung Media Mulia, t.t.
Sofyan, Ayi, Kapita Selekta Filsafat,
Bandung Pustaka Setia, 2010.
Soleh, A. Khudori Wacana Baru Filsafat
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
http://umimukaromah23.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-ilmu-pengetahuan-dan-islam.html. Di akses tgl 5 Desember 2015.
http://majelisdiktimuhammadiyah.org/prof-dr-amin-abdullah-integrasi-agama-dan-sains-sebuah-keniscayaan/. di
akses tgl 10-12-2015.
http://zackymuzakkil.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-keilmuan-amin-abdullah.html. di akses tgl 10-12-2015.
http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1463%3Apohon-ilmu-diharapkan-selalu-berbuah&catid=25%3Aartikel-rektor&Itemid=168 . di akses tgl 10-12-2015.
[3]http://umimukaromah23.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-ilmu-pengetahuan-dan-islam.html. Di akses tgl 5 Desember 2015.
[4]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakrta, Pustaka Pelajar, 2011), h 250.
[7]http://umimukaromah23.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-ilmu-pengetahuan-dan-islam.html. Di akses tgl 5 Desember 2015.
[12]http://zackymuzakkil.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-keilmuan-amin-abdullah.html. di akses tgl 10-12-2015.
[13]http://zackymuzakkil.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-keilmuan-amin-abdullah.html. di akses tgl 10-12-2015.
[14]http://zackymuzakkil.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-keilmuan-amin-abdullah.html. di akses tgl 10-12-2015.
[17]
http://zackymuzakkil.blogspot.co.id/2014/09/integrasi-keilmuan-amin-abdullah.html. di akses tgl 10-12-2015.
[18]http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1463%3Apohon-ilmu-diharapkan-selalu-berbuah&catid=25%3Aartikel-rektor&Itemid=168 . di akses tgl 10-12-2015.
[19] http://jelapattamban.blogspot.co.id/2014/12/v-behaviorurldefaultvmlo.html. di akses tgl
10-12-2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar