Rabu, 04 Januari 2017

Integrasi Ilmu (Ilmu dalam Persepkif Islam
A.      Pendahuluan
Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Einsten mengatakan bahwa “science without religion is blind and religion without science islame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama saja berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk  bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan sumber dan rujukan utama, ajaran-Nya memuat semua inti ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama.
Pemikiran tentang integrasi  atau islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini dilakukan oleh kalangan intelektual muslim. Secara totalitas, hal ini dilakukan di tengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat Islam akan maju dapat menyusul dan menyamai orang-orang Barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan.
Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai sekuler, oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.

B.       Pengertian Integrasi dan Ilmu
Kata intigrasi dalam kamus bahasa Indonesia di artikan dengan pembaruan hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.[1] Kalau dalam  kamus bahasa Inggri integrasion yang artinya penggabungan.[2] Pengertian Dan Model Integrasi Keilmuan Salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “Islamisasi”. Menurut Echols dan Hasan Sadily, kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang berarti pengislaman. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.[3]
Adapun pengertian ilmu secara umum adalah merupakan kumpulan pengetahuan, maka pengertian ilmu pengetahuan adalah suatu pengetahun tentang objek tertentu yang disusun secara sistematis sebagai hasil penelitian dengan menggunakan metode tertentu, ilmu pengetahuan memilki objek penelitian manusia. Kedua objek tersebut disebut objek formal.[4] Jalaluddin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kelanjutan konseptual dan ciri “ingin tahu” sebagai kodrat manusiawi.[5]
C.      Pendekatan Integrasi ilmu dan Islam
 Pengetahuan ilmiah dan filsafat Yunani ke dunia Islam, dan penyerapan serta pengentegrasian pengetahuan itu oleh umat Islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik.[6] Selain adanya perkembangan ilmu yang dapat dikategorikan  ke dalam bidang ekskta, matematika, fisika, kimia, geomitri, dan lain sebagainya, dan juga bidang ilmu-ilmu keislaman baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan disiplin ilmu lainnya. Dalam konteks Islamisasi, ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmunya, bukan ilmu itu sendiri. Karena yang menentukan adalah manusia, manusialah yang menghayati ilmu. Penghayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya beroientasi pada nilai-nilai Islam ataukah tidak. Lebih lanjut, Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Faruqi, menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Dalam konteks ini, untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, umat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realistasnya, saat ini, ilmu pengethuanlah yang amat berperan dalam menentukan kemajuan umat manusia.
Sejak abad kemunduran Islam (abad ke-12 M), karena para penguasa Muslim kurang memberikan penghargaan terhadap ilmu pengethuan hingga akhir abad ke-16, dimana mulai terputus hubungan antara Dunia Islam dengan aliran utama dalam sains dan teknologi, umat Islam sangat tertinggal jauh dibanding masyarakat Barat, justru mereka mulai bengkit dari kegelapan pengetahuan setelah sekian lama terbelenggu dalam indoktrinasi teologi Kristiani. Selain masalah ketertinggalan dalam penguasaan ilmu pengetahuan, hal terbesar yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah berkaitan dengan paradigma berfikir. Umat Islam masih berpikir secara absurd. Bukan justru mengembangkan wacana-wacana keimanan, kemanusiaan, dan pengetahuan. Ini jelas menunjukan sebuah pola berpikir partikularistik dan ritualistik.[7]
Pendekatan Integrasi ilmu dan Islam suatu pendekatan integratif-interkonektif merupakan pendekatan yang tidak saling melumatkan antara keilmuan umum dan agama. Pendekatan ini di bagi menjadi tiga corak. Yaitu paralel, lincar, dan sirkular.
1.      Pendekatan paralel masing-masing corak keilmuan umum agama berjalan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dan persentuhan antara satu dengan yang lainnya.
2.      Pendekatan lincar, salah satu keduanya akan menjadi primadona sehingga ada kemungkinan berat sebelah.
3.      Pendekatan sirkular, masing-masing corak keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan pada tiap-tiap keilmuan dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dan temuan- temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memilki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada diri sendiri.[8]
D.      Pengertian Islamisasi Ilmu
Tokoh-tokoh islamisasi ilmu memberikan pengertian sendiri istilah ini, sesuai latar belakang  dan keahlian masing-masing. Menurut Sayed Husein Nasr, islamisasi ilmu termasuk juga islamisasi budaya adalah upaya menterjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim di mana mereka tinggal. Artinya,  islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk mempertemukan cara pikir dan bertindak  (epistemologi dan aksiologi) masyarakat Barat dan muslim.[9]
Menurut Hanna Djumhana Bastaman adalah upaya menghubungkan kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti mengehubungkan kembali sunnatullah (hukum alam) dengan al-Qur’an, yang keduanya sama-sama ayat Tuhan.
Adapun menurut Naquib al-Attas islamisasi ilmu adalah upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi dan prinsip-prinsip sekuler, sehingga terbentuk ilmu pengetahuan baru yang sesuai fitrah Islam. islamisasi ilmu menurutnya berkenaan dengan perubahan ontologis dan epistemologis, terkait dengan perubahan cara pandang dunia  yang merupakan dasar lahirnya ilmu dan metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam.
Sedangkan menurut Faruqi adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu, atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan ( buku dasar) di perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam.
Berdasarkan pengertian di atas, islamisasi ilmu berarti upaya membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik pada aspek ontologis, epistemologis atau aksiologis.[10]
Upaya untuk melakukan islamisasi ilmu pertama kali diangkat Sayid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an. Saat itu Nasr berbicara dan membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika.[11]
E.       Islamisasi Ilmu
Amin Abdullah merasa bahwa kegiatan aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama di tanah air dewasa ini mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan abad renaissance hinggan era revolusi informasi. Yang mana hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah mengauasai perilaku cerdik pandai. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual distrust pun mewabah dimana-mana. Ini menandakan adanya jarak yang cukup jauh antara dua aspek keagaam yang sering dipahami sebagai normative dan historis. Dari aspek normatifnya, agama mewajibkan pemeluknya untuk melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangannya. Akan tetapi, jika pada kenyataannya perilaku pemeluknya berbeda dari yang perintahkan oleh agama. Maka itu mengindisikasikan adanya keterputusan atau ketimpangan dalam beragama. Jika sudah demikkian, pertanyaannnya adalah di mana peran pendidikan, utamanya pendidikan agama.
Di era global ini, para agamawan terkesan tidak dapat menjadi pelaku perubahan, melainkan hanya penonton dalam kemajuan teknologi dan sebagainya. Begitu pun sebaliknya, para ilmuwan-ilmuwan, termasuk para cerdik pandai semakin jauh dari moral dan etik. Akhirnya, timbul tipologi antara agamawan saja dan ilmuwan saja. Padahal jauh sebelumnya, dalam kependidikan Islam telah terpola pengembangan keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik yang dipelopori oleh  para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun. Yang selain mereka adalah agamawan juga ilmuwan-ilmuwan yang sudah barang tentu selain memahami agama dengan berbagai moral dan etiknya, juga memnguasai keilmuan-keilmuan lainnya yang notabenenya di luar lingkup agama. Para tokoh ini berhasil memadukan serta mengkorelasikan keilmuan-keilmuan yang mereka miliki.[12]
Untuk mengembalikan paradigma pendidikan yang integrative ini dengan pendekatannya yaitu integratif-interkonektifnya. Ia menekankan bahwa kebutuhan dan perlunya segera adanya interaksi dan interkomunikasi dengan teori-teori dan metodologi-metodologi yang telah digunakan pada disiplin-disiplin ilmu yang lain yang berada di luar lingkarannya batasnya sendiri. Dengan mencangkokkan teori-teori tersebut, memungkinkan terjadi perluasan horizon dan wawasan keilmuan seseorang. Ketika interaksi dan interkomunikasi antar dispilin ilmu ini berlangsung, akan ada perubahan besar pada cara kita mempertanyakan problem-problem akademik. Dan bukan tidak mungkin yang juga menjadi harapan dengan adanya interaksi serta interkomunikasi ini bisa mengembalikan kembali peradigma keilmuan yang integrative yang mampu menjadikan manusia sesuai dengan perannya di muka bumi, yang selain sebagai sebagai seorang hamba juga sebagai khalifah di bumi.[13]
Selain itu, paradigma interkoneksitas ini memberikan argumen dalam pemahaman menghadapi kompleksitas perjalanan proses realitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, bahwa setiap gugusan-gususan keilmuan apapun harus melakukan komunikasi yang efektif. Hal ini dikarenakan keilmuan yang ada, baik itu keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak akan mampu kokoh sendirian, memiliki rasa dapat memecahkan permasalahannya, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu yang lain, oleh karena itu perasaan merasa cukup dengan kekuatan sendiri ini akan mengakibatkan pemikiran sikap yang terkungkung dengan polanya yang sempit atau dapat diistilahkan dengan egoisme disiplin keilmuan. Sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan lebih dapat membantu manusia dalam memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sedangkan paradigma integrasi keilmuan memberikan gambaran dengan berharap tidak akan memunculkan kembali ketegangan dan tirai antar keilmuan yang dimaksud dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu ke dalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normatif ke wilayah historis atau sebaliknya. Paradigma interkoneksitas akan lebih memiliki nilai-nilai kehidupan yang lebih unggul yakni modesthumility dan humanis.[14]
Paradigma interkonektif-integratif ini dapat dipahami sebagai upaya membangun kerjasama yang efektif dan mendalam sedemikian rupa antar berbagai disiplin keilmuan sehingga terjadi komunikasi efektif membuka tirai-tirai dari bangunan-bangunan keilmuan, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman. Sedangkan untuk mengurai krisis relevansi dalam perkembangan ilmu-ilmu sekuler diberikan konsep gerakan rapprochement yakni kesediaan untuk saling menerima keberadaan kubu-kubu keilmuan yang lain dengan lapang dada. Gerakan ini disebut juga gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan. Lebih lanjut, Amin Abdullah memberi catatan, bahwa:
Paradigma keilmuan baru yang menyatukan, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistic-integralistik), itu tidak berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekuralisme) atau mengucilkan manusia teraleniasi dari dirinya sendiri dari masyarakat sekitar dan lingkungan sekitarnya.
Amin Abdullah memandang bahwa integrasi ilmu keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu diperlukan usaha yang lebih arif dan bijaksana, yaitu adalah usaha memahami kompleksitas fenomina kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, sehingga setiap bangunan keilmuan  apa pun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, homaniora maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri. Maka dibutuhkan kerja sama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling mengoreksi, dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[15] terjadinya integrasi keilmuan yang oleh Amin Abdullah didekatinya dengan pendekatan integratif-interkonektif ini bukan berarti antar satu keilmuan dengan keilmuan lainnya saling bersaing untuk saling mendominasi dan mempengaruhi. Bahkan sebaliknya, yang dikehendaki adalah antara satu keilmuan dengan keilmuan lainnya saling melengkapi. karena sama halnya dengan manusia yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, ilmu pun demikian yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa bertegur sapa dengan ilmu lain.
Konsep “Jaring Laba-laba” yang merupakan metafora simplifikasi konsep paradigma keilmuan Integrasi-Interkoneksi, merupakan sebuah pendekatan dalam pembidangan matakuliah yang mencakup tiga dimensi pengembangan ilmu.

Description: C:\Users\Misran Darmi\Downloads\download.jpg

Gambar konsep Jaring Laba-laba
.
Sebagai penggagas ”madzhab integrasi-interkoneksi” ini, Amin Abdullah menyatakan bahwa proses mempertemukan “ilmu agama” dan “ilmu sekuler” ini bukan karena alasan pragmatis semata. Ia lahir melalui proses sejarah intelektual yang sangat panjang. Pola pikir ke arah pola triadik bayani, irfani, dan burhani-nya al Jabiri perlu dilakukan dengan menggunakan metodologi lingkaran hermeneutika.[16]
Selain itu, keilmuan Islam yang ada saat ini, selain dihadapkan pada fenomena pendikotomian dengan ilmu umum, juga dihadapkan pada tidak adanya upaya perluasan serta pemekaran dalam pengembangan yang mendorong kemajuan dan pertumbuhan ilmu-ilmu keislaman.[17]
Adapun Konsep Pohon Ilmu  diperkenalkan oleh salah satu perguruan tinggi negeri  yakni UIN Maliki Malang yaitu Imam Suparyogo. Ilmu yang dikembangkan di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bersumber dari al-Qur’an dan hadis Nabi. Petunjuk al-Qur’an dan hadis yang masih bersifat konseptual selanjutnya dikembangkan lewat kegiatan eksperimen, observasi dan pendekatan ilmiah lainnya. Ilmu pengetahuan yang berbasis pada al-Qur’an dan al-Sunnah itulah yang dikembangkan oleh UIN Maliki Malang. Jika menggunakan bahasa kontemporer UIN Maliki Malang berusaha menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum dalam satu kesatuan. Sesungguhnya UIN Malang tidak sepaham dengan dengan siapa saja yang mengkategorikan ilmu agama dan ilmu umum. Sebab kategorisasi itu terasa janggal atau rancu. Istilah umum adalah lawan kata dari khusus. Sedangkan agama, khusnya islam tidak tepat dikategorikan sebagai ajaran yang bersifat khusu. Sebab, lingkup ajarannya begitu luas dan bersifat universal, menyangkut berbagai aspek kehidupan. Jika keduanya dipandang sebagain ilmu yang bersumber dari wahyu, sedang ilmu umum berasal dari manusia.
Dalam perspektif bangunan kurikulum, struktur keilmuan yang dikembangkan di UIN Maliki Malang menggunakan metafora sebuah pohon yang kokoh dan rindang. Sebagaimana layaknya sebuag pohon menjadi kukuh, berdiri tegak dan tidak mudah roboh dihempas angin jika memiliki akar yang kukuh dan menghunjam ke bumi. Pohon yang berakar kuat itu akan melahirkan batang yang kukuh pula. Batang yang kukuh akan melahirkan cabang dan ranting yang kuat serta dan dan buah yang sehat dan segar.
Pohon dengan ciri-ciri itulah yang dijadikan perumpamaan ilmu yang dikembangkan di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Agar lebih jelas, pohon yang digunakan sebagai metafora bangunan keilmuan UIN Maliki malang dapat digambarkan sebagai berikut:   :
1.     Akar yang kukuh menghunjam ke bumi itu digunakan untuk menggambarkan kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris), logika dan filsafat, ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Bahasa Asing yaitu Arab dan Inggris, harus dikuasai oleh setiap mahasiswa. Bahasa Arab digunakan sebagai piranti mendalami ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis Nabi serta kitab-kitab berbahasa Arab lainnya. Penggunaan bahasa Inggris dipandang penting sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi dan bahasa pergaulan internasional. Selanjutnya, pendalaman terhadap pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kemampuan logika/filsafat, ilmu alam dan ilmu sosial perlu dikuasai oleh setiap mahasiswa agar dijadikan bekal dan instrument dalam menganalisis dan memahami isi al-Qur’an, hadis maupun fenomena alam dan sosial yang dijadikan objek kajian-kajiannya. Jika hal tersebut dikuasai secara baik, maka akan dapat mengikuti kajian keilmuan selanjutnya secara mudah.
2.       Batang yang kukuh digunakan untuk menggambarkan ilmu-ilmu yang terkait dan bersumber lansung dari al-Qur’an dan hadis Nabi. Yaitu, studi al-Qur’an, studi hadis, pemikiran Islam, dan sirah Nabawiyah. Ilmu semacam ini hanya dapat dikaji dan dipahami secara baik oleh mereka yang telah memiliki kemahiran bahasa Arab, logika, ilmu alam dan ilmu sosial.
3.      Dahan dan ranting dari pohon yang kukuh dan rindang tersebut digunakan untuk menggambarkan disiplin ilmu modern yang dipilih oleh setiap mahasiwa. Disiplin ilmu ini bertujuan untuk mengembangkan aspek keahlian dan profesionalismenya. Disiplin ilmu modern itu misalnya: ilmu kedokteran, filsafat, psikologi, ekonomi, sosiologi, teknik serta cabang-cabang ilmu lainnya.
Pohon selalu membutuhkan sari pati makanan yang diperoleh dari tanah, diserap oleh akar, dibawa melalui batang ke dahan, ranting dan daun. Oleh daun sari pati makanan itu diolah dengan bantuan sinar matahari yang disebut asimilasi. Hasil olahan sari pati makanan itu dikirim ke seluruh bagian pohon agar tetap hidup dan berkembang, dan selanjutnya berbuah. Begitu pula jika pohon itu digunakan sebagai metafora bangunan ilmu. Tanah dimana pohon itu tumbuh, digunakan untuk menggambarkan betapa pentingnya aspek kultural yang harus ada pada setiap upaya pendidikan, lebih-lebih pendidikan agama Islam.
 Selanjutnya, akar yang menghujam ke bumi bertugas memperkokoh dan sekaligus mengambil sari pati makanan untuk menggambarkan ilmu alat sebagai syarat bagi siapa saja yang mau mendalami sumber ilmu ke-Islaman yaitu al-Qur’an dan hadis.[18]
Atas dasar pandangan itu, keberhasilan seorang penyandang identitas ulul al bab bukan terletak pada jumlah kekayaan, kekuasaan, sahabat, dan sanjungan.  Sebagai seorang yang selalu ingat pada  Allah dan memiliki hati yang lembut, maka mereka selalu mengajak pada kebaikan dan menghindarkan diri dari berbuat yang tidak terpuji. Selanjutnya dengan ilmu dan profesi yang dimiliki, mereka selalu menunaikan amanah dengan cara terbaik, atau beramal saleh. Pohon ilmu diharapkan berbuah orang-orang yang beriman, berakhlak mulia, berilmu, dan beramal saleh. Di mana pun dan kapan pun bahwa penyandang derajat setinggi itu tidak akan membebani pada orang lain, tetapi justru sebaliknya, selalu memberi manfaat bagi kehidupan ini.[19]

Description: C:\Users\Misran Darmi\Downloads\download (2).jpg

Gambar konsep Pohon Ilmu


Disamping itu pula ada yang tidak menerima atau menolak dengan adanya Islamisasi ilmu ini, dia merupakan seorang fisikawan muda yang cukup dikenal di Universitas Quadiazam di Pakistan yang bernama Hoodbhoy, dia berpandangan bahwa ilmu itu bebas nilai dan bersifat universal. Jadi tidak ada yang disebut ilmu islami, dan semua upaya untuk mengislamkan ilmu itu akan mengalami kegagalan.[20]

F.       Penutup
Konsep “Jaring Laba-laba” yang merupakan metafora simplifikasi konsep paradigma keilmuan Integrasi-Interkoneksi, merupakan sebuah pendekatan dalam pembidangan matakuliah yang mencakup tiga dimensi pengembangan ilmu Sebagai penggagas ”madzhab integrasi-interkoneksi” ini, Amin Abdullah  menyatakan bahwa proses mempertemukan “ilmu agama” dan “ilmu sekuler”  ini untuk mengembalikan paradigma pendidikan yang integrative ini dengan pendekatannya yaitu integratif-interkonektifnya. Ia menekankan bahwa kebutuhan dan perlunya segera adanya interaksi dan interkomunikasi dengan teori-teori dan metodologi-metodologi yang telah digunakan pada disiplin-disiplin ilmu yang lain.
 Sedangkan pengembangan keilmuan yang dilakukan Imam Imam Suparyogo yang terkonsep dalam pohon ilmu yang terdiri dari bagian-bagian keilmuan, yaitu akar berupa ilmu-ilmu alat dan batang berupa ilmu-ilmu sumber Islam, keduanya bersifat fardh ‘ain yang wajib bagi seluruh mahasiswa dari berbagai jurusan untuk mempelajarinya. Dan bagian dahan, ranting dan daun, yang bersifat fardh kifayah, artinya setiap mahasiwa boleh mengambil secara berbeda antara yang satu dengan yang lain. Dan, jika seorang mahasiswa sudah mengambil satu jenis fakultas tidak berkewajiban untuk mengambil fakultas lainnya. Jenis ilmu yang digambarkan sebagai dahan tersebut misalnya  ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu teknik, ilmu MIPA yang akan menghasilkan buah.Metapora berupa  pohon  yang dikembangkan,dan harus  menyebut buah pohon,maka buah  itu  adalah ilmu, iman dan  amal sholeh.
Upaya islamisasi ilmu ini merupakan untuk membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam dan berwawasan islam, baik pada aspek ontologis, epistemologis atau aksiologis. Yang mana dipandang sangatlah penting pada dewasa ini, agar umat Islam tidak tertinggal dari kemajuan keilmuan pada zaman sekarang ini yang semakin pesat dan meningkat.




Daftar Pustaka
Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan, Yogyakrta, Pustaka Pelajar, 2011.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004..
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia,  2005.
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Grafindo Persada, 2013.
Kartanegara, Mulyhadi, Mengislamkan Nalar,  Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2007.
Sip, Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Bandung: Agung Media Mulia, t.t.
Sofyan, Ayi, Kapita Selekta Filsafat, Bandung Pustaka Setia,  2010.
Soleh, A. Khudori Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.



[1]Tanti Yuniar Sip, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: Agung Media Mulia, t.t), h 257.
[2]John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,  2005), h 326.
[4]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakrta, Pustaka Pelajar, 2011), h 250.
[5]Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2013), h 91.
[6]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h 34.
[8] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung Pustaka Setia,  2010), h 250.
[9]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h 239.
[10]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h 240.
[11] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, h 241.
[15] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, h 249.
[20] Mulyhadi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2007), h 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar