Rabu, 04 Januari 2017

Dinas Mamluk
BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban Islam merupakan bagian dari sejarah yang tidak bisa terlepas dari tempat, masyarakat, pemerintahan yang berupa kerajaan atau dinasti yang dibawah naungan ajaran Islam, yang memiliki peran penting dalam perkembangan peradaban Islam, baik dari segi ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, pemerintahan, dan yang lainnya.
Dinasti Mamluk merupakan diantara salah satu dinasti banyak diantara dinasti yang ada,  dinasti ini dibentuk dari para budak ada pada dinasti Ayyubiyah telah didik dan dilatih  menjadi tentara oleh mereka, dinasti ini yang tertulis dalam sejarah islam yang takterlupakan yang berada di Mesir, dinasti ini merupakan dinasti yang mampu mempertahankan peradaban Islam Klasik, yang mana saat itu banyak negara-negara islam yang telah dikalahkan oleh tentara Mongol, diantaranya adalah Baghdad, sehingga peradaban yang ada disana berpindahlah ke Mesir. karena dinasti inilah yang dapat menahan dan mengalahkan tentara Mongol.
BAB II
PEMBAHASAN
A.          Asal Mula Berdirinya  Dinasti Mamluk
Mamluk atau di sebut juga Mamalik, mamalik merupakan kata jamak dari mamluk itu sendiri  yang di artikan budak.[1] Orang-orang budak dan Negara-negara budak merupakan insitusi yang asing. Sehingga, translasi istilah ghulam atau mamluk ke dalam istilah Inggris dengan kata “slave” memberikan konotasi yang tidak tepat. Menurut istilah bahasa Arab dan menurut pengertian kalangan Muslimin, budak merupakan kekayaan pribadi dari seorang tuan yang dapat diperjual belikan. Ia adalah pelayan-pelayan kelas rendah yang bergantung kepada tuannya untuk mendapatkan perlindungan dan suplai atas segala kebutuhannya. Namun, kedudukan sosial budak tidak tercermin dari penghambaan personalnya, melainkan ia tercermin dari status tuannya.
Budak milik seorang sultan dapat menjadi jendral atau bahkan menteri negara; yakni sebagai seorang jendral budak atau menjadi pejabat administrasi kemiliteran. Konsep ghulam atau mamluk menunjukan sebuah ikatan kepatuhan personal tetapi tidak mesti menunjukan sebuah kedudukan yang rendah dalam kemasyarakatan. Bahkan, budak-budak militer seringkali menjadi orang merdeka, menjadi klien bagi tuannya yang semula, yang memberi hak-hak hukum tertentu dalam hal pemilikan, perkawinan, dan keamanan personal, di mana pun, dalam hal pengerahan kerja budak resimental, permasalahan status hukum tidak sangat penting. Melainkan loyalitas personal yang eksklusif  dari seorang budak atau tentara budak kepada tuannya sangat  vital (penting) bagi supremasi politik para penguasa dan bagi organisasai Negara-negara pasca Abbasiyah.[2]
Dalam sejarah perjalanan Islam, seorang budak hari ini, esok ia menjadi panglima karena kemahirannya dalam bidang tertentu, kemudian menjadi sultan atau raja karena kemampuannya untuk memengaruhi tentara dan rakyat. Pada masa Khlaifah Abbasiyah  al-Mu’tasim Billah yang banyak merekrut banyak budak Turki  demi keselamatan istana dan khalifah dari pengaruh mutlak tentara Persia yang memang tulang punggung kekhalifahan, dimana khalifah akhirnya menjadi boneka.[3] Dinasti Mamluk tentara berasal dari keturunan campuran intinya terdiri dari sejumlah besar budak yang direkrut oleh penguasa atau diambil alih dari tuannya dan dilatih di sekolah-sekolah istana. Akan tetapi, para pejabat  sejumlah besar yang dilatih di rumah tangga.[4]  Dinasti Mamluk di Mesir atau Daulat al-atrak, sebagaimana yang sering disebut orang-orang Arab yang hidup di bawah pemerintahan ini, lahir pada awal masa-masa kejatuhan umat Islam. Dinasti ini lahir di tengah terjadinya antagonism politik yang mengarah pada terjadinya disintegrasi politik secara menyeluruh di dunia Islam dan dalam waktu yang sama, terjadinya kebangkitan Kristen di Barat serta ancaman-ancaman tentara Mongol dari wilayah timur yang secara berangsur-angsur mengambil alih sebagian pusat pemerintahan dan kebudayaan serta pangkalan strategis bagi pertahanan dan perdagangan Islam. Dinasti  ini merupakan satu-satunya dinasti yang dapat mempertahankan dirinya dalam waktu dua setengah abad lebih dan memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap Islam.[5] Dinasti Mamluk muncul pada abad ke-13 M. kehadirannya memilki hubungan dengan dinasti sebelumnya, yaitu dinasti Ayyubiayah. Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam proses pendirian dinasti Mamluk adalah orang-orang yang bekerja untuk dinasti Ayyubiayah yang sengaja didatangkan penguasa Ayyubiayah.[6]
 Dinasti Mamluk memang didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir yaitu Al-Malik Al-Salih mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasannya. Pada masa-masa ini meraka mendapatkan hak-hak istemewa, baik dari karier  ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material. Kebanyakan mereka berasal dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia.[7]
Mereka di Mesir ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan, dari itu mereka di kenal atau dijuluki Mamluk Bahri (Laut).  Saingan mereka dalam ketentaraan pada masa itu adalah tentara asal Kurdi. Apabila ditelusuri, berdirinya dinasti Mamluk berawal dari kekisruhan politik setelah penguasa Ayyubiyah Al-Malik Al-Salih meninggal (1249 M), anaknya Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamluk terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara Kurdi. Pada tahun 1250M yang saat itu Mamluk dibawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Istri Al-Malik Al-Salih yaitu Syajarah Al-Durr adalah budak Armenia yang dihadiahkan khalifah Musta’shim dari Baghdad kepada Al-Malik Al-Salih,[8] Syajarah Al-Durr seorang yang berasal dari kalangan Mamluk berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamluk.[9]
Kepemimpinan Syajarah Al-Durr hanya berlangsung tiga bulan, kemudian kawin dengan tokoh Mamluk yaitu Aybak, dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya dan berharap bisa berkuasa di belakang tabir, akan tetapi Aybak membunuh Syajarah Al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah yang bernama Musa sebagai Sultan, namun Musa pada akhirnya dibunuh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah dan awal dari kekuasaan dinasti Mamluk.[10]
Aybak berkuasa selama tujuh tahun. Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Ali mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh Qutuz. Baybars yang mengasingkan diri ke Syria, karena tidak senang dengan kemepimpinan Aybak, ia kembali ke Mesir, pada awal  tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang mereka suda berhasil mengalahkan Abbasyiah[11] dan  menduduki hampir seluruh dunia Islam. Pertemuan tentara Mamluk dan Mongol bertemu di ‘Ayn Jalut pada tanggal 3 September 1260 M, akhirnya tentara Mamluk  yang dibawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil mengalahkan pasukan Mongol.[12]
Kemenangan atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamluk di Mesir menjadi tumpuan harapan umat Islam  di sekitarnya. Dinasti Mamluk juga dipandang berperan sebagai pelindung dan penyelamat warisan peradaban Islam Klasik karena tidak bisa dipisahkan dari kontribusinya dalam upaya membaendung dan mengalahkan tentara Mongol yang dipimpin oleh Kitbuga Noyon pada awal tahun 1260 M.[13]  Penguasa-penguasa di Sryia segera menyatakan setia kepada penguasa Mamluk. Tidak lama setelah itu meninggal Qutuz, Baybars seorang pemimpin yang tangguh dan cerdas diangkat menjadi Sultan selanjutnya.
Kerajaan Mamluk dibagi Dalam 2 periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama dinamakan Mamluk Bahri/Bahriyah (648-792 H./1250-138 M.), yakni berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan). Golongan kedua dinamakan Mamluk Burjiyah (792-923 H./1389-1517 M.), yakni Mamluk yang berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukasus. Golongan inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk.[14]
Nama Mamluk Bahriyah dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik Al-Saleh Najmudin Ayyub kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau Raudhah di tepi Sungai Nil yang dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, serta latihan materi sipil dan militer.
Sejak itu, para Mamluk dikenal dengan Al-Mamluk Al-Bahriyah (para budak lautan). Sementara penamaan Burji/Barjiyah disandarkan kepada para budak yang ditempatkan di benteng yang mempunyai menara (buruj). Karena itu, para Mamluk dinamakan Al-Mamluk Al-Burujiah (para budak benteng).[15]
Sultan-sultan Mamluk Bahri yang terkenal ialah Quruz, Baybars, Qalawun, dan Nasir Muhammad bin Qalawun adalah sultan Qutuz (Qathaz) (657 H./1258 M.) dengan bantuan panglima perangnya, Baybars berhasil mematahkan serbuan bangsa Mongol ke Palestina dalam peperangan ‘Ain Jalut 3 september 1260. Kemenangan ini merupakan ”balasan” terhadap bangsa Mongol yang sebelumnya menghancurkan Baghdad sebagai pusat khilafah Islam tahun 1258 H.
Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan pertama yang berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap orang-orang Mongolia, di sebuah daerah yang terletak di antara Basyan dan Nablus.[16] Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa tentara Mongol tidak pernah terkalahkan. Setelah kemenangan ini, nilai tambah Dinasti Mamluk adalah bersatunya kembali Mesir dan Syam di bawah naungan sultan Mamluk setelah mengalami perpecahan pada masa sultan-sultan keturunan Salahuddin Al-Ayyubi.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di kairo setelah Baghdad hancur total oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan oleh Baybars, kerajaan Mamluk bertambah kuat. Bahkan, Baybars mampu berkuasa selama 17 tahun (657 H./1260 M.-676 H./1277 M.) karena mendapat dukungan militer dan tidak ada Mamluk yang senior lagi, selain Baybars. Kejayaan yang di raih pada masa Baybars adalah memporak-porandakan tentara salib di sepanjang Laut Tengah.[17] Terlebih lagi prestasi Baybars adalah menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan tahun 1258.
Pemerintahan Mamluk selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiah. Diawali oleh Azh-Zhahir Bibaris mengundang Ahmad, anak Khalifah Bani Abbasiyah Al-Zhahir ke kairo, sebelum Ahmad melarikan diri dari Baghdad setelah dihancur leburkan oleh orang-orang Mongolia, kemudian dibaiat sebagai khalifah dan diberi gelar Al-Mustanshir pada tahun 659 H./1260 M.
Tujuan yang dilakukan oleh Babiris adalah untuk menguatkan kekuasaan di kairo, dan negeri-negeri Islam dilain, serta melindungi kursi kekuasaan Mamluk dengan legalitas syariah. Setelah itu Bani Abbasiyah secara berturut-turut berkuasa dengan jumlah khalifah sebanyak 18 orang pada tahun 659-923 H./1260-1517 M.[18]
Sultan Mamluk yang memilki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yakni Nashir Muhammad (696 H./129 M.). sultan memegang pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun tahta.
Namun demikian, diantara peristiwa penting pada masa ini (terutama pasca-Qalawun).
a. pada tahun 667 H./1268 M., Al-Zahir Babiris mampu meluaskan pengaruhnya di Hijaz.
b. antara tahun 660-690 H./1261-1291 M., orang-orang Mamluk menggempur kaum salibis.
c. pada tahun 680 H./1281 M., Manshur Qalawun berhasil menghancurkan pasukan Tarta dengan sangat telak.
d. pada tahun 702 H./1312 M., An-Nashir bin Qalawun berhasil menaklukkan kepulauan Arwad dan mengusir orang-orang salibis dari sana.[19]
e. pada tahun yang sama pasukan Tartar juga dikalahkan dengan sangat telak pada perang Syaqhat di dekat Damaskus.
Masa pemerintahan mamluk Burji diawali dengan berkuasanya sultan Barquq (789 H./1382 M.-801 H./1399 M.) setelah berhasil menggulungkan sultan terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Haj bin Asyraf sya’ban. Tidak lah ada perbedaan antara pemerintahan antara Mamluk Bahri dan Burji. Ha-hal yang membedakan kedua pemerintah tersebut adalah sukses pemerintah  Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan turun temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji sukses lebih banyak terjadi karena perang saudara dan hura-hura.
Banyak dari sultan Mamluk Burji yang naik tahta pada masa usia muda. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya Dinasti Mamluk. Karena para Mamluk selalu disibukkan dengan gejolak atau pertentengan yang terjadi.
B.           Kemajuan Pada  Dinasti Mamluk
a.            Bidang Politik
Dinasti Mamluk membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer,[20] sistem pemerintahan seperti ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir, kedudukan Amir sangat penting. Para Amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka kandidat sultan.[21]
b.            Bidang pemerintahan
Sultan Qutuz merupakan salah satu sultan yang terkenal diantara sultan-sultan Bahri yang mana dengan bantuan panglima perangnya, Baybars berhasil mematahkan serbuan bangsa Mongol ke Palestina dalam peperangan ‘Ain Jalut, kemenangan ini merupakan balasan terhadap bangsa Mongol yang sebelumnya menghancurkan Baghdad sebagai pusat khilafah Islam.[22] Setelah kemenangan dinasti Mamluk atas tentara Mongol merupakan modal besar untuk mereka menguasai daerah-daerah sekitarnya dan menjinakkan segala kekuatan yang dapat membahayakan pemerintahannya.[23] Banyak dinasti-dinasti kecil menyatakan setia pada dinasti ini, untuk menjalankan pemerintahan di dalam negri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik, dia juga membaiat keturunan Bani Abbas  yaitu Al-Mustanshir yang berhasil meloloskan diri dari bangsa Mongol untuk memperoleh simpatik dari kerajaan Islam. disamping itu pula Baybars dalam rangka menarik simpati rakyat adalah menghidupkan kembali keberadaan mazhab Sunni di Mesir. Hal ini dilakukan karena mayoritas penduduk Mesir bermazhab Sunni, sementara pemerintah harus mendapat dukungan dari rakyatnya.[24]  Demikian pula  khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulago di Baghdad berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya.[25]
c.             Bidang Ekonomi
Bidang ekonomi dinasti Mamluk membuka jalur perdagangan yang menghubungkan antara dunia Timur dan Barat. Ketika Asia Barat dan laut Tengah senantiasa bergejolak, urat nadi perdagangan yang menghubungkan Timur dan Barat tetap saja melayar daerah-daerah itu, ketika Baghdad jatuh, jalur dagang dari Asia Tengah dan Teluk Persia melalui Baghdad ke barat hampir terhenti, akan tetapi keadaan itu tidak terlalu memberikan pengaruh yang signifikan bagi Mesir, dengan jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa menjadi lebih penting, karena Kairo menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Pada saat itu hubungan dagang Timur-Barat benar-benar berada di tangan dinasti Mamluk.[26] Dinasti mamluk mulai membuka hubungan  dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan ini didukung oleh pembangunan jaringan trasportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun darat, disamping itu pula ketangguhan angkatan laut Mamluk juga sangat membantu pertumbuhan perekonomiannya.[27]    
d.            Bidang Ilmu Pengetahuan
Bidang Ilmu Pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol.  Menyebabkan terhentinya perkembangan ilmu pengetahuan di daerah itu. Orang-orang Islam, terutama para ilmuwan yang dapat melepaskan diri berusaha mencari tempat berlindung yang lebih aman. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan di Timur beralih dari Baghdad ke Mesir sebagai tempat perkembangannya.[28] Karena itu, ilmu-ilmu berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar, seperti Ibn Khalikan, ibn Taghribardi, dan ibn Khaldun.[29] Di bidang  astronomi dikenal nama Nasir Al-Din Al-Tusi. Di bidang matematika Abu Al-Faraj Al-‘Ibry. Dalam bidang kedokteran Abu Al-Hasan ‘Ali Al-Nafis, sedangkan dalam perkembangan ilmu keagamaan tidak kedengaran lagi, baik dalam bidang teologi mapun fiqh. tersohor nama Ibn Taimiyah, yang mana ia menganjurkan pemurnian dengan kembali pada Al-Qur’an dan hadis, serta menganjurkan para ulama agar berijtihad kembali,[30] oleh karena itu ia  dianggap seorang  pemikir reformasi dalam Islam, Al-Sayuti yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam ilmu hadis dan lain-lainnya.[31]
e.             Bidang Sosial
Pembangunan tempat-tempat sosial oleh Sultan Qolawun yaitu berupa rumah sakit, rumah anak yatim dan penampungan orang cacat.[32]
C.          Kehancuran Dinasti Mamluk
Dinasti Mamluk yang telah memerintah lebih dari dua abad akhirnya mengalami kemunduran dan kehancuran. Beberapa yang menjadi penyebab dan hancurnya dinasti ini adalah: pertama Munculnya Antagonesmi politik yaitu pada awal pembentukan kesultanan ini, yang menyebabkan kematian Aybak, Syajarah Al-Durr dan Qutuz. Konflik ini merupakan perjuangan kearah kompromi yang mendorong ke arah solidaritas di antara para Mamluk. Pengaruhnya hanya pada tingkat pimpinan Mamluk tidak berpengaruh ke bawah sehingga mengakibatkan perang antarasatuan, dan ketika kekuasaan beralih dari Mamluk Bahri ke Mamluk Burji, persaingan menduduki jabatan sultan di lingkungan Mamluk Burji lebih tinggi dan keras, membunuh sultan untuk menggantikan kedudukan menjadi hal biasa. Konflik inilah yang mengantarkan dinasti ini mengakhiri riwayatnya.[33] Kedua Munculnya budaya hidup mewah dan hedonistik[34] Kemajuan-kemajuan yang dirasakan sedikit demi sedikit merusut atau menghilang dan mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak Sirkasia yang dikenal dengan Mamluk Burji, ketika Mamluk Bahri berkuasa, terjadi usaha untuk merebut tampuk kekuasaan oleh Mamluk Burji. An-Nasir dijatuhkan oleh Kitbuga pada tahun 1294, tetapi Mamluk Bahri kembali berkuasa dengan naiknya An-Nasir dan mewariskan kekuasaan pada anak-anaknya. Setelah Barquq (Mamluk Burji) menggantikan Hajji pada tahun 1390 M, kekuasaan Mamluk Bahri berakhir. Semenjak ini jabatan sultan tidak lagi menggambarkan lembaga yang melindungi dan menjamin kelangsungan pemerintah, tetapi tempat kesenangan dan kemewahan yang menjadi rebetuan.[35]Para Sejarawan membagi kehancuran dinasti ini menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal, adapun dari internal adalah gaya hidup yang diperlihatkan oleh  para Sultan atau pegawainya yang berperilaku buruk, seperti tipu daya, pembunuhan, dan pembantain, sebagian sultan melakukan tindakan kejam, curang, dan bermoral bejat dan kebanyakan mereka tidak beradab.[36]
Penggunaan uang Negara untuk kemewahan sultan yang dimulai an-Nasir jauh bertambah parah ditangan Mamluk Burji, selain untuk memenuhi keinginan sultan, selain pajak kepada rakyat, pajak pedagang juga ditingkatkan,[37] dan Korupsi dan monopoli ekonomi dilakukan oleh para sultan dalam mengelola pembangunan. Misalnya Sultan Barsibai melarang impor rempah-rempah dari India padahal ia termasuk importir lada yang yang sangat dibutuhkan. Sebelum harga naik, ia memonopoli persediaan rempah yang ada, kemudian menjualnya kepada konsumen dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Secara eksternal adalah kalangan Mamluk Burji tidak peduli ketimbang mengurus persoalan domestic dalam negri. Kondisi ini terbaca oleh pihak musuh lamanya, seperti tentara Mongol yang ingin berkeinginan untuk merebut kembali, ditambah pasukan Utsaman dari Anatolia yang memperparah kehancuran Mamluk Burji. [38]
Ketiga rusaknya moralitas para penguasa dan lemahnya kontrol pendidikan agama, pendidikan yang diberikan dinasti Ayyubiyah kepada Mamluk Bahri berbeda dengan yang dilakukan Mamluk Bahri terhadap Mamluk Burji. Ketika Mamluk Bahri dalam pendidikan di Rawdah, disamping latihan-latihan militer yang bersifat fisik, pendidikan keagamaan tidak ketinggalan, bahkan merupakan dasar. Sedangkan Mamluk Burji kurang mendapatkan pendidikan agama. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Barsbay tidak mengenal huruf Arab, Muayyad syah menjadi pemabuk, Inal tidak bisa baca tulis, dan Yalbay tidak hanya buta huruf, tetapi juga sinting.[39]   
Keempat kekuatan baru dari kerajaan Turki Utsmani sebagai rival, keretakan di dalam dan ancaman dari luar yang yang semakin meningkat secara perlahan-lahan telah melumpuhkan dinati Mamluk. Berdirinya dinasti Safawi di Persia yang secara resmi menganut mazhab Syi’ah Ista Asyariyah tidak menyenangkan bagi kerajaan Turki Utsmani, yang menganut mazhab Sunni di Tuki. Perbedaan aliran mazhab dan hegemoni  yang terselubung untuk menempatkan diri sebagai pusat kekuasaan dunia Islam menyebabkan hubungan antara dua negara itu banyak diwarnai dengan permusuhan. Pada tahun 15151 M kerajaan Turki Utsmani berhasil menguasai Tibriz, Mesopotamia, dan sebagian Armenia.
Kemampuan sultan Salim mengetahui rahasia Al-Ghury menunjukkan betapa rapuhnya pemerintahan Mamluk itu. Mata-mata Turki Utsmani berhasil mencari kelemahan mamluk melalui orang Arab atau amir-amir yang sudah kehilangan harapan  dari pemerintahan Mamluk. Ketika perang antara Turki Utsmani dan Mamluk beralngsung pada tahun 1516 di Marj Dabiq, tidak mengherankan Mamluk  mengalami kekalahan, karena adanya orang dalam yang membantu mengalahkan kerajaan Mamluk.[40]
Demikianlah, Syam tunduk dan berada di bawah pemerintahan Utsmani. Pada saat itu juga, pemimpin Hijaz datang ke kairo dan menyatakan ketaatan mereka kepada Khalifah Utsmani dan menyatakan bahwa Hijaz tunduk pada pemerintah Utsman. Dengan demikian berakhirlah pemerintahan Mamluk dan  berpindahlah khilafah Islam pada pemerintahan Utsmani.[41]



BAB III
PENUTUP

Demikinlah tentang kiprah perjalanan dari dinasti Mamluk sebagai benteng terakhir pelindung dan penyelamat khazanah peradaban Islam periode klasik. Bagaimanapun, pemerintah Mamluk di Mesir telah memberikan sumbangsih yang sangat besar  pada dunia Islam. manakala Baghdad di serang dan dihancurkan tentara Mongol, akan tetapi  kemampuan mereka menyelamatkan Mesir sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam yang masih bertahan saat penyerangan tentara Mongol itu patut di hargai.
Dinasti Mamluk merupakan para tentara dari para budak-budak  yang dilatih dan di didik oleh dinasti Ayyubiyah untuk menjadi para tentara militer yang kebanyakan mereka budak yang berasal dari Turki, mereka inilah kelak yang membentuk dinasti Mamluk setelah berakhirnya dinasti Ayyubiayah, dinasti Mamluk memerintah kurang lebih selama dua setengah abad lamanya. Dinasti ini dibagi menjadi dua periode yaitu Mamluk Bahri dan Mamluk Burji.
 Setelah mereka berkuas kurang lebih dua setengah abad lamanya, mereka banyak memberikan kontribusi terhadap dunia Islam baik dari berbagai bidang, seperti dinasti yang lain pula ada yang namanya kejayaan dan keruntuhan yang di alami, begitu pula dinasti ini, hal itu dikarenakan berbagai factor yang menyebabkannya, baik  itu berupa internal dan eksternal.


DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Sejarah Umat Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1958.
Hourani,  Albert,  A History of The Arab Peoples, di terjemahkan oleh Irfan Abu bakar, Sejarah Bangsa-Bangsa  Muslim, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.
Karim, M.Abdul Sejarah  Pemikiran dan Peradaban Islam Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Kusdiana, Ading Sejarah & Kebudayaan Islam Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.
M.Lapidus, Ira Sejarah Sosial Umat Islam Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Supriyadi, Dedi Sejarah Peradaban Islam Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Jakarta: PT Raja  Grafindo Persada, 2013.



[1]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja  Grafindo Persada, 2013), h 124. Lihat juga Dedi Supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),  h  235. Lihat juga Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1958), h 187. Lihat juga Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), h 95.
[2] Ira.M.Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h 226.
[3]M.Abdul Karim, Sejarah  Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h 283-284.
[4]Albert Hourani, A History of The Arab Peoples, di terjemahkan oleh Irfan Abubakar, Sejarah Bangsa-Bangsa  Muslim, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h 272.
[5]Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 93-94.
[6] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 95.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 124.
[8]Musyrifah Sonanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta:  Preneda Media, 2003),  h 204. Lihat juga Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 96.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 125. Lihat juga M.Abdul Karim, Sejarah  Pemikiran dan Peradaban Islam,h 284.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 125. Lihat juga Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 97.
[11]Musyrifah Sonanto, Sejarah Islam Klasik, h 206.
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 125. Lihat juga Musyrifah Sonanto, Sejarah Islam Klasik, h 206. Lihat juga Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 98.
[13] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 99.
[14] Dedi Supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam, h 236. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 126.
[15] Dedi Supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam, h 236.
[16]Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 100.
[17]Dedi Supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam, h 237.
[18]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h  235.
[19]Dedi Supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam, h 239.
[20]Pemerintahan oligarki militer adalah suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan susunan kepemimpinan yang dipilih diantara para Mamluk yang lebih kuat dan memiliki pengaruh besar ditengah-tengah masayrakat.
[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 126. Lihat juga Musyrifah Sonanto, Sejarah Islam Klasik, h 210.
[22] Dedi Supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam, h 237. Lihat juga M.Abdul Karim, Sejarah  Pemikiran dan Peradaban Islam,h 285.
[23]Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 103.
[24]Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 103.
[25]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 127.
[26]Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 105.
[27] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 127. Lihat juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h  245.
[28] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 105.
[29]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 127.  Lihat juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h  245.
[30] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 108.
[31]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 128. Lihat juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h  245.
[32] Musyrifah Sonanto, Sejarah Islam Klasik, h 207.
[33] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 110.
[34] Pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagian sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-persaan yang menyakitkan.
[35] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 111.
[36] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h  246. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 128.

[37]Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 111.
[38] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h 247.
[39]Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 112.
[40] Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 114.
[41] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h 247. Lihat juga M.Abdul Karim, Sejarah  Pemikiran dan Peradaban Islam, h 286.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar