Dinas Mamluk
BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban
Islam merupakan bagian dari sejarah yang tidak bisa terlepas dari tempat,
masyarakat, pemerintahan yang berupa kerajaan atau dinasti yang dibawah naungan
ajaran Islam, yang memiliki peran penting dalam perkembangan peradaban Islam,
baik dari segi ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, pemerintahan, dan yang
lainnya.
Dinasti
Mamluk merupakan diantara salah satu dinasti banyak diantara dinasti yang
ada, dinasti ini dibentuk dari para
budak ada pada dinasti Ayyubiyah telah didik dan dilatih menjadi tentara oleh mereka, dinasti ini yang
tertulis dalam sejarah islam yang takterlupakan yang berada di Mesir, dinasti
ini merupakan dinasti yang mampu mempertahankan peradaban Islam Klasik, yang
mana saat itu banyak negara-negara islam yang telah dikalahkan oleh tentara
Mongol, diantaranya adalah Baghdad, sehingga peradaban yang ada disana
berpindahlah ke Mesir. karena dinasti inilah yang dapat menahan dan mengalahkan
tentara Mongol.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal Mula Berdirinya Dinasti
Mamluk
Mamluk
atau di sebut juga Mamalik, mamalik merupakan kata jamak dari mamluk itu
sendiri yang di artikan budak.[1] Orang-orang
budak dan Negara-negara budak merupakan insitusi yang asing. Sehingga,
translasi istilah ghulam atau mamluk ke dalam istilah Inggris
dengan kata “slave” memberikan konotasi yang tidak tepat. Menurut
istilah bahasa Arab dan menurut pengertian kalangan Muslimin, budak merupakan
kekayaan pribadi dari seorang tuan yang dapat diperjual belikan. Ia adalah
pelayan-pelayan kelas rendah yang bergantung kepada tuannya untuk mendapatkan
perlindungan dan suplai atas segala kebutuhannya. Namun, kedudukan sosial budak
tidak tercermin dari penghambaan personalnya, melainkan ia tercermin dari
status tuannya.
Budak
milik seorang sultan dapat menjadi jendral atau bahkan menteri negara; yakni
sebagai seorang jendral budak atau menjadi pejabat administrasi kemiliteran. Konsep
ghulam atau mamluk menunjukan sebuah ikatan kepatuhan personal tetapi tidak mesti
menunjukan sebuah kedudukan yang rendah dalam kemasyarakatan. Bahkan,
budak-budak militer seringkali menjadi orang merdeka, menjadi klien bagi
tuannya yang semula, yang memberi hak-hak hukum tertentu dalam hal pemilikan,
perkawinan, dan keamanan personal, di mana pun, dalam hal pengerahan kerja
budak resimental, permasalahan status hukum tidak sangat penting. Melainkan
loyalitas personal yang eksklusif dari
seorang budak atau tentara budak kepada tuannya sangat vital (penting) bagi supremasi politik para
penguasa dan bagi organisasai Negara-negara pasca Abbasiyah.[2]
Dalam
sejarah perjalanan Islam, seorang budak hari ini, esok ia menjadi panglima
karena kemahirannya dalam bidang tertentu, kemudian menjadi sultan atau raja
karena kemampuannya untuk memengaruhi tentara dan rakyat. Pada masa Khlaifah
Abbasiyah al-Mu’tasim Billah yang banyak
merekrut banyak budak Turki demi
keselamatan istana dan khalifah dari pengaruh mutlak tentara Persia yang memang
tulang punggung kekhalifahan, dimana khalifah akhirnya menjadi boneka.[3] Dinasti
Mamluk tentara berasal dari keturunan campuran intinya terdiri dari sejumlah
besar budak yang direkrut oleh penguasa atau diambil alih dari tuannya dan
dilatih di sekolah-sekolah istana. Akan tetapi, para pejabat sejumlah besar yang dilatih di rumah tangga.[4] Dinasti Mamluk di Mesir atau Daulat
al-atrak, sebagaimana yang sering disebut orang-orang Arab yang hidup di
bawah pemerintahan ini, lahir pada awal masa-masa kejatuhan umat Islam. Dinasti
ini lahir di tengah terjadinya antagonism politik yang mengarah pada terjadinya
disintegrasi politik secara menyeluruh di dunia Islam dan dalam waktu yang
sama, terjadinya kebangkitan Kristen di Barat serta ancaman-ancaman tentara
Mongol dari wilayah timur yang secara berangsur-angsur mengambil alih sebagian
pusat pemerintahan dan kebudayaan serta pangkalan strategis bagi pertahanan dan
perdagangan Islam. Dinasti ini merupakan
satu-satunya dinasti yang dapat mempertahankan dirinya dalam waktu dua setengah
abad lebih dan memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap Islam.[5] Dinasti
Mamluk muncul pada abad ke-13 M. kehadirannya memilki hubungan dengan dinasti
sebelumnya, yaitu dinasti Ayyubiayah. Hal ini terjadi karena orang-orang yang
terlibat dalam proses pendirian dinasti Mamluk adalah orang-orang yang bekerja
untuk dinasti Ayyubiayah yang sengaja didatangkan penguasa Ayyubiayah.[6]
Dinasti Mamluk memang didirikan oleh para
budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan oleh penguasa
dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan tentaranya. Mereka
ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Oleh penguasa
Ayyubiyah yang terakhir yaitu Al-Malik Al-Salih mereka dijadikan pengawal untuk
menjamin kelangsungan kekuasannya. Pada masa-masa ini meraka mendapatkan
hak-hak istemewa, baik dari karier
ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material. Kebanyakan mereka
berasal dari daerah Kaukasus dan Laut Kaspia.[7]
Mereka
di Mesir ditempatkan di pulau Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan
militer dan keagamaan, dari itu mereka di kenal atau dijuluki Mamluk Bahri
(Laut). Saingan mereka dalam ketentaraan
pada masa itu adalah tentara asal Kurdi. Apabila ditelusuri, berdirinya dinasti
Mamluk berawal dari kekisruhan politik setelah penguasa Ayyubiyah Al-Malik
Al-Salih meninggal (1249 M), anaknya Turansyah, naik tahta sebagai Sultan.
Golongan Mamluk terancam karena Turansyah lebih dekat kepada tentara Kurdi.
Pada tahun 1250M yang saat itu Mamluk dibawah pimpinan Aybak dan Baybars
berhasil membunuh Turansyah. Istri Al-Malik Al-Salih yaitu Syajarah Al-Durr
adalah budak Armenia yang dihadiahkan khalifah Musta’shim dari Baghdad kepada
Al-Malik Al-Salih,[8]
Syajarah Al-Durr seorang yang berasal dari kalangan Mamluk berusaha mengambil
kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan Mamluk.[9]
Kepemimpinan
Syajarah Al-Durr hanya berlangsung tiga bulan, kemudian kawin dengan tokoh Mamluk
yaitu Aybak, dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya dan berharap bisa berkuasa
di belakang tabir, akan tetapi Aybak membunuh Syajarah Al-Durr dan mengambil
sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya Aybak mengangkat seorang
keturunan penguasa Ayyubiyah yang bernama Musa sebagai Sultan, namun Musa pada
akhirnya dibunuh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayyubiyah dan awal
dari kekuasaan dinasti Mamluk.[10]
Aybak
berkuasa selama tujuh tahun. Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali
yang masih berusia muda. Ali mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan
oleh Qutuz. Baybars yang mengasingkan diri ke Syria, karena tidak senang dengan
kemepimpinan Aybak, ia kembali ke Mesir, pada awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa
Mongol yang mereka suda berhasil mengalahkan Abbasyiah[11]
dan menduduki hampir seluruh dunia
Islam. Pertemuan tentara Mamluk dan Mongol bertemu di ‘Ayn Jalut pada
tanggal 3 September 1260 M, akhirnya tentara Mamluk yang dibawah pimpinan Qutuz dan Baybars
berhasil mengalahkan pasukan Mongol.[12]
Kemenangan
atas tentara Mongol ini membuat kekuasaan Mamluk di Mesir menjadi tumpuan
harapan umat Islam di sekitarnya.
Dinasti Mamluk juga dipandang berperan sebagai pelindung dan penyelamat warisan
peradaban Islam Klasik karena tidak bisa dipisahkan dari kontribusinya dalam
upaya membaendung dan mengalahkan tentara Mongol yang dipimpin oleh Kitbuga
Noyon pada awal tahun 1260 M.[13] Penguasa-penguasa di Sryia segera menyatakan
setia kepada penguasa Mamluk. Tidak lama setelah itu meninggal Qutuz, Baybars
seorang pemimpin yang tangguh dan cerdas diangkat menjadi Sultan selanjutnya.
Kerajaan Mamluk dibagi Dalam 2 periode berdasarkan daerah asalnya.
Golongan pertama dinamakan Mamluk Bahri/Bahriyah (648-792 H./1250-138
M.), yakni berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan). Golongan kedua
dinamakan Mamluk Burjiyah (792-923 H./1389-1517 M.), yakni Mamluk yang
berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukasus. Golongan inilah yang berhasil
bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk.[14]
Nama Mamluk
Bahriyah dinisbatkan pada sebuah tempat yang disediakan oleh Sultan Malik
Al-Saleh Najmudin Ayyub kepada para Mamluk. Tempat ini berada di pulau Raudhah
di tepi Sungai Nil yang dilengkapi dengan senjata, pusat pendidikan, serta
latihan materi sipil dan militer.
Sejak itu, para Mamluk dikenal dengan Al-Mamluk Al-Bahriyah (para
budak lautan). Sementara penamaan Burji/Barjiyah disandarkan kepada para
budak yang ditempatkan di benteng yang mempunyai menara (buruj). Karena
itu, para Mamluk dinamakan Al-Mamluk Al-Burujiah (para budak benteng).[15]
Sultan-sultan Mamluk Bahri yang terkenal ialah Quruz, Baybars,
Qalawun, dan Nasir Muhammad bin Qalawun adalah sultan Qutuz (Qathaz) (657
H./1258 M.) dengan bantuan panglima perangnya, Baybars berhasil mematahkan
serbuan bangsa Mongol ke Palestina dalam peperangan ‘Ain Jalut 3
september 1260. Kemenangan ini merupakan ”balasan” terhadap bangsa Mongol yang
sebelumnya menghancurkan Baghdad sebagai pusat khilafah Islam tahun 1258 H.
Perang ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam dan
merupakan kemenangan pertama yang berhasil dicapai oleh kaum muslimin terhadap
orang-orang Mongolia, di sebuah daerah yang terletak di antara Basyan dan
Nablus.[16]
Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan bahwa tentara Mongol tidak
pernah terkalahkan. Setelah kemenangan ini, nilai tambah Dinasti Mamluk adalah
bersatunya kembali Mesir dan Syam di bawah naungan sultan Mamluk setelah
mengalami perpecahan pada masa sultan-sultan keturunan Salahuddin Al-Ayyubi.
Pusat kekhalifahan Islam akhirnya berada di kairo setelah Baghdad
hancur total oleh tentara Mongol. Setelah Qutuz digulingkan oleh Baybars,
kerajaan Mamluk bertambah kuat. Bahkan, Baybars mampu berkuasa selama 17 tahun
(657 H./1260 M.-676 H./1277 M.) karena mendapat dukungan militer dan tidak ada
Mamluk yang senior lagi, selain Baybars. Kejayaan yang di raih pada masa
Baybars adalah memporak-porandakan tentara salib di sepanjang Laut Tengah.[17]
Terlebih lagi prestasi Baybars adalah menghidupkan kembali kekhalifahan
Abbasiyah di Mesir setelah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol di bawah Hulagu
Khan tahun 1258.
Pemerintahan Mamluk selanjutnya dipimpin oleh Bani Bibarisiah.
Diawali oleh Azh-Zhahir Bibaris mengundang Ahmad, anak Khalifah Bani Abbasiyah
Al-Zhahir ke kairo, sebelum Ahmad melarikan diri dari Baghdad setelah dihancur
leburkan oleh orang-orang Mongolia, kemudian dibaiat sebagai khalifah dan
diberi gelar Al-Mustanshir pada tahun 659 H./1260 M.
Tujuan yang dilakukan oleh Babiris adalah untuk menguatkan kekuasaan
di kairo, dan negeri-negeri Islam dilain, serta melindungi kursi kekuasaan
Mamluk dengan legalitas syariah. Setelah itu Bani Abbasiyah secara
berturut-turut berkuasa dengan jumlah khalifah sebanyak 18 orang pada tahun
659-923 H./1260-1517 M.[18]
Sultan Mamluk yang memilki kejayaan dan prestasi lainnya dari garis
Bani Qalawun adalah putra pengganti Qalawun, yakni Nashir Muhammad (696 H./129
M.). sultan memegang pemerintahan selama tiga kali dan mengalami dua kali turun
tahta.
Namun demikian, diantara peristiwa penting pada masa ini (terutama
pasca-Qalawun).
a. pada tahun 667 H./1268 M., Al-Zahir Babiris mampu meluaskan
pengaruhnya di Hijaz.
b. antara tahun 660-690 H./1261-1291 M., orang-orang Mamluk
menggempur kaum salibis.
c. pada tahun 680 H./1281 M., Manshur Qalawun berhasil
menghancurkan pasukan Tarta dengan sangat telak.
d. pada tahun 702 H./1312 M., An-Nashir bin Qalawun berhasil
menaklukkan kepulauan Arwad dan mengusir orang-orang salibis dari sana.[19]
e. pada tahun yang sama pasukan Tartar juga dikalahkan dengan
sangat telak pada perang Syaqhat di dekat Damaskus.
Masa pemerintahan mamluk Burji diawali dengan berkuasanya sultan
Barquq (789 H./1382 M.-801 H./1399 M.) setelah berhasil menggulungkan sultan
terakhir dari Mamluk Bahri, Shalih Haj bin Asyraf sya’ban. Tidak lah ada
perbedaan antara pemerintahan antara Mamluk Bahri dan Burji. Ha-hal yang
membedakan kedua pemerintah tersebut adalah sukses pemerintah Mamluk Bahri lebih banyak terjadi dengan turun
temurun, sedangkan pada masa Mamluk Burji sukses lebih banyak terjadi karena
perang saudara dan hura-hura.
Banyak dari sultan Mamluk Burji yang naik tahta pada masa usia
muda. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya Dinasti Mamluk.
Karena para Mamluk selalu disibukkan dengan gejolak atau pertentengan yang
terjadi.
B.
Kemajuan Pada Dinasti Mamluk
a.
Bidang Politik
Dinasti
Mamluk membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini
bersifat oligarki militer,[20] sistem
pemerintahan seperti ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir, kedudukan Amir
sangat penting. Para Amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka kandidat
sultan.[21]
b.
Bidang pemerintahan
Sultan
Qutuz merupakan salah satu sultan yang terkenal diantara sultan-sultan Bahri
yang mana dengan bantuan panglima perangnya, Baybars berhasil mematahkan
serbuan bangsa Mongol ke Palestina dalam peperangan ‘Ain Jalut,
kemenangan ini merupakan balasan terhadap bangsa Mongol yang sebelumnya menghancurkan
Baghdad sebagai pusat khilafah Islam.[22] Setelah
kemenangan dinasti Mamluk atas tentara Mongol merupakan modal besar untuk
mereka menguasai daerah-daerah sekitarnya dan menjinakkan segala kekuatan yang
dapat membahayakan pemerintahannya.[23]
Banyak dinasti-dinasti kecil menyatakan setia pada dinasti ini, untuk
menjalankan pemerintahan di dalam negri, Baybars mengangkat kelompok militer
sebagai elit politik, dia juga membaiat keturunan Bani Abbas yaitu Al-Mustanshir yang berhasil meloloskan
diri dari bangsa Mongol untuk memperoleh simpatik dari kerajaan Islam. disamping
itu pula Baybars dalam rangka menarik simpati rakyat adalah menghidupkan
kembali keberadaan mazhab Sunni di Mesir. Hal ini dilakukan karena mayoritas
penduduk Mesir bermazhab Sunni, sementara pemerintah harus mendapat dukungan
dari rakyatnya.[24]
Demikian pula khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh
tentara Hulago di Baghdad berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo
sebagai pusatnya.[25]
c.
Bidang Ekonomi
Bidang
ekonomi dinasti Mamluk membuka jalur perdagangan yang menghubungkan antara
dunia Timur dan Barat. Ketika Asia Barat dan laut Tengah senantiasa bergejolak,
urat nadi perdagangan yang menghubungkan Timur dan Barat tetap saja melayar
daerah-daerah itu, ketika Baghdad jatuh, jalur dagang dari Asia Tengah dan
Teluk Persia melalui Baghdad ke barat hampir terhenti, akan tetapi keadaan itu
tidak terlalu memberikan pengaruh yang signifikan bagi Mesir, dengan jatuhnya
Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa menjadi
lebih penting, karena Kairo menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah dengan
Eropa. Pada saat itu hubungan dagang Timur-Barat benar-benar berada di tangan
dinasti Mamluk.[26]
Dinasti mamluk mulai membuka hubungan dengan Perancis dan Italia melalui perluasan
jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir
sebelumnya, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan ini didukung oleh
pembangunan jaringan trasportasi dan komunikasi antarkota, baik laut maupun
darat, disamping itu pula ketangguhan angkatan laut Mamluk juga sangat membantu
pertumbuhan perekonomiannya.[27]
d.
Bidang Ilmu Pengetahuan
Bidang
Ilmu Pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad
dari serangan tentara Mongol. Menyebabkan terhentinya perkembangan ilmu
pengetahuan di daerah itu. Orang-orang Islam, terutama para ilmuwan yang dapat
melepaskan diri berusaha mencari tempat berlindung yang lebih aman. Oleh karena
itu, ilmu pengetahuan di Timur beralih dari Baghdad ke Mesir sebagai tempat
perkembangannya.[28]
Karena itu, ilmu-ilmu berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran,
astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama
besar, seperti Ibn Khalikan, ibn Taghribardi, dan ibn Khaldun.[29]
Di bidang astronomi dikenal nama Nasir
Al-Din Al-Tusi. Di bidang matematika Abu Al-Faraj Al-‘Ibry. Dalam bidang
kedokteran Abu Al-Hasan ‘Ali Al-Nafis, sedangkan dalam perkembangan ilmu
keagamaan tidak kedengaran lagi, baik dalam bidang teologi mapun fiqh. tersohor
nama Ibn Taimiyah, yang mana ia menganjurkan pemurnian dengan kembali pada
Al-Qur’an dan hadis, serta menganjurkan para ulama agar berijtihad kembali,[30]
oleh karena itu ia dianggap seorang pemikir reformasi dalam Islam, Al-Sayuti yang
menguasai banyak ilmu keagamaan, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam ilmu hadis dan
lain-lainnya.[31]
e.
Bidang Sosial
Pembangunan
tempat-tempat sosial oleh Sultan Qolawun yaitu berupa rumah sakit, rumah anak
yatim dan penampungan orang cacat.[32]
C.
Kehancuran Dinasti Mamluk
Dinasti
Mamluk yang telah memerintah lebih dari dua abad akhirnya mengalami kemunduran
dan kehancuran. Beberapa yang menjadi penyebab dan hancurnya dinasti ini
adalah: pertama Munculnya Antagonesmi politik yaitu pada awal
pembentukan kesultanan ini, yang menyebabkan kematian Aybak, Syajarah Al-Durr
dan Qutuz. Konflik ini merupakan perjuangan kearah kompromi yang mendorong ke
arah solidaritas di antara para Mamluk. Pengaruhnya hanya pada tingkat pimpinan
Mamluk tidak berpengaruh ke bawah sehingga mengakibatkan perang antarasatuan,
dan ketika kekuasaan beralih dari Mamluk Bahri ke Mamluk Burji, persaingan
menduduki jabatan sultan di lingkungan Mamluk Burji lebih tinggi dan keras,
membunuh sultan untuk menggantikan kedudukan menjadi hal biasa. Konflik inilah
yang mengantarkan dinasti ini mengakhiri riwayatnya.[33] Kedua
Munculnya budaya hidup mewah dan hedonistik[34] Kemajuan-kemajuan
yang dirasakan sedikit demi sedikit merusut atau menghilang dan mengalami
kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak Sirkasia yang dikenal dengan Mamluk
Burji, ketika Mamluk Bahri berkuasa, terjadi usaha untuk merebut tampuk
kekuasaan oleh Mamluk Burji. An-Nasir dijatuhkan oleh Kitbuga pada tahun 1294,
tetapi Mamluk Bahri kembali berkuasa dengan naiknya An-Nasir dan mewariskan
kekuasaan pada anak-anaknya. Setelah Barquq (Mamluk Burji) menggantikan Hajji
pada tahun 1390 M, kekuasaan Mamluk Bahri berakhir. Semenjak ini jabatan sultan
tidak lagi menggambarkan lembaga yang melindungi dan menjamin kelangsungan
pemerintah, tetapi tempat kesenangan dan kemewahan yang menjadi rebetuan.[35]Para
Sejarawan membagi kehancuran dinasti ini menjadi dua yaitu faktor internal dan
eksternal, adapun dari internal adalah gaya hidup yang diperlihatkan oleh para Sultan atau pegawainya yang berperilaku
buruk, seperti tipu daya, pembunuhan, dan pembantain, sebagian sultan melakukan
tindakan kejam, curang, dan bermoral bejat dan kebanyakan mereka tidak beradab.[36]
Penggunaan
uang Negara untuk kemewahan sultan yang dimulai an-Nasir jauh bertambah parah
ditangan Mamluk Burji, selain untuk memenuhi keinginan sultan, selain pajak
kepada rakyat, pajak pedagang juga ditingkatkan,[37]
dan Korupsi dan monopoli ekonomi dilakukan oleh para sultan dalam mengelola
pembangunan. Misalnya Sultan Barsibai melarang impor rempah-rempah dari India
padahal ia termasuk importir lada yang yang sangat dibutuhkan. Sebelum harga
naik, ia memonopoli persediaan rempah yang ada, kemudian menjualnya kepada
konsumen dengan harga yang jauh lebih tinggi.
Secara
eksternal adalah kalangan Mamluk Burji tidak peduli ketimbang mengurus
persoalan domestic dalam negri. Kondisi ini terbaca oleh pihak musuh lamanya,
seperti tentara Mongol yang ingin berkeinginan untuk merebut kembali, ditambah
pasukan Utsaman dari Anatolia yang memperparah kehancuran Mamluk Burji. [38]
Ketiga rusaknya
moralitas para penguasa dan lemahnya kontrol pendidikan agama, pendidikan yang
diberikan dinasti Ayyubiyah kepada Mamluk Bahri berbeda dengan yang dilakukan
Mamluk Bahri terhadap Mamluk Burji. Ketika Mamluk Bahri dalam pendidikan di
Rawdah, disamping latihan-latihan militer yang bersifat fisik, pendidikan
keagamaan tidak ketinggalan, bahkan merupakan dasar. Sedangkan Mamluk Burji kurang
mendapatkan pendidikan agama. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Barsbay
tidak mengenal huruf Arab, Muayyad syah menjadi pemabuk, Inal tidak bisa baca
tulis, dan Yalbay tidak hanya buta huruf, tetapi juga sinting.[39]
Keempat kekuatan baru
dari kerajaan Turki Utsmani sebagai rival, keretakan di dalam dan ancaman dari
luar yang yang semakin meningkat secara perlahan-lahan telah melumpuhkan dinati
Mamluk. Berdirinya dinasti Safawi di Persia yang secara resmi menganut mazhab
Syi’ah Ista Asyariyah tidak menyenangkan bagi kerajaan Turki Utsmani, yang
menganut mazhab Sunni di Tuki. Perbedaan aliran mazhab dan hegemoni yang terselubung untuk menempatkan diri
sebagai pusat kekuasaan dunia Islam menyebabkan hubungan antara dua negara itu
banyak diwarnai dengan permusuhan. Pada tahun 15151 M kerajaan Turki Utsmani
berhasil menguasai Tibriz, Mesopotamia, dan sebagian Armenia.
Kemampuan
sultan Salim mengetahui rahasia Al-Ghury menunjukkan betapa rapuhnya
pemerintahan Mamluk itu. Mata-mata Turki Utsmani berhasil mencari kelemahan
mamluk melalui orang Arab atau amir-amir yang sudah kehilangan harapan dari pemerintahan Mamluk. Ketika perang
antara Turki Utsmani dan Mamluk beralngsung pada tahun 1516 di Marj Dabiq,
tidak mengherankan Mamluk mengalami
kekalahan, karena adanya orang dalam yang membantu mengalahkan kerajaan Mamluk.[40]
Demikianlah,
Syam tunduk dan berada di bawah pemerintahan Utsmani. Pada saat itu juga,
pemimpin Hijaz datang ke kairo dan menyatakan ketaatan mereka kepada Khalifah
Utsmani dan menyatakan bahwa Hijaz tunduk pada pemerintah Utsman. Dengan
demikian berakhirlah pemerintahan Mamluk dan
berpindahlah khilafah Islam pada pemerintahan Utsmani.[41]
BAB III
PENUTUP
Demikinlah
tentang kiprah perjalanan dari dinasti Mamluk sebagai benteng terakhir pelindung
dan penyelamat khazanah peradaban Islam periode klasik. Bagaimanapun,
pemerintah Mamluk di Mesir telah memberikan sumbangsih yang sangat besar pada dunia Islam. manakala Baghdad di serang
dan dihancurkan tentara Mongol, akan tetapi
kemampuan mereka menyelamatkan Mesir sebagai salah satu pusat kebudayaan
Islam yang masih bertahan saat penyerangan tentara Mongol itu patut di hargai.
Dinasti
Mamluk merupakan para tentara dari para budak-budak yang dilatih dan di didik oleh dinasti
Ayyubiyah untuk menjadi para tentara militer yang kebanyakan mereka budak yang
berasal dari Turki, mereka inilah kelak yang membentuk dinasti Mamluk setelah
berakhirnya dinasti Ayyubiayah, dinasti Mamluk memerintah kurang lebih selama
dua setengah abad lamanya. Dinasti ini dibagi menjadi dua periode yaitu Mamluk Bahri
dan Mamluk Burji.
Setelah mereka berkuas kurang lebih dua
setengah abad lamanya, mereka banyak memberikan kontribusi terhadap dunia Islam
baik dari berbagai bidang, seperti dinasti yang lain pula ada yang namanya
kejayaan dan keruntuhan yang di alami, begitu pula dinasti ini, hal itu
dikarenakan berbagai factor yang menyebabkannya, baik itu berupa internal dan eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Sejarah Umat Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1958.
Hourani, Albert,
A History of The Arab Peoples, di terjemahkan oleh Irfan Abu bakar,
Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim,
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.
Karim, M.Abdul Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007.
Kusdiana, Ading Sejarah & Kebudayaan Islam Bandung: CV
Pustaka Setia, 2003.
M.Lapidus, Ira Sejarah Sosial Umat Islam Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999.
Supriyadi, Dedi Sejarah Peradaban Islam Bandung: CV Pustaka
Setia, 2008.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013.
[1]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h 124. Lihat juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2008), h 235. Lihat juga Hamka, Sejarah Umat Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1958), h 187. Lihat juga Ading Kusdiana, Sejarah
& Kebudayaan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), h 95.
[3]M.Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007), h 283-284.
[4]Albert Hourani,
A History of The Arab Peoples, di terjemahkan oleh Irfan Abubakar, Sejarah
Bangsa-Bangsa Muslim,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h 272.
[7] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, h 124.
[8]Musyrifah
Sonanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta:
Preneda Media, 2003), h 204.
Lihat juga Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam, h 96.
[9] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, h 125. Lihat juga M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,h 284.
[10] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, h 125. Lihat juga Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan
Islam, h 97.
[11]Musyrifah
Sonanto, Sejarah Islam Klasik, h 206.
[12] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, h 125. Lihat juga Musyrifah Sonanto, Sejarah Islam
Klasik, h 206. Lihat juga Ading Kusdiana, Sejarah & Kebudayaan Islam,
h 98.
[14]
Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
h 236. Lihat juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 126.
[18]Dedi Supriyadi,
Sejarah Peradaban Islam, h 235.
[20]Pemerintahan
oligarki militer adalah suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan susunan
kepemimpinan yang dipilih diantara para Mamluk yang lebih kuat dan memiliki
pengaruh besar ditengah-tengah masayrakat.
[21]
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, h 126. Lihat juga Musyrifah Sonanto, Sejarah Islam
Klasik, h 210.
[22]
Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,
h 237. Lihat juga M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,h 285.
[27]
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, h 127. Lihat juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban
Islam, h 245.
[29]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, h 127. Lihat juga
Dedi Supriyadi,
Sejarah Peradaban Islam, h 245.
[31]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, h 128. Lihat juga Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h 245.
[34]
Pandangan hidup
yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagian
sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-persaan yang
menyakitkan.
[36]
Dedi Supriyadi,
Sejarah Peradaban Islam, h 246. Lihat
juga Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h 128.
[38] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, h 247.
[41]
Dedi Supriyadi,
Sejarah Peradaban Islam, h 247. Lihat juga M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, h 286.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar