Model Kritik Hadis Versi Ulama Hadis Kontemporer (Telaah
Pemikiran Syaikh Muhammad Al-Gazali)
A.
Pendahuluan
Problem
pemahaman hadis Nabi merupakan persoalan
yang sangat urgen untuk dikaji, hal ini karena hadis merupakan sumber kedua
ajaran Islam setelah al-Qur’an yang dalam banyak aspek berbeda dengan
al-Qur’an. Perkembangan pemikiran terhadap hadis memang tidak sesemarak yang
terjadi pemikiran terhadap al-Qur’an.
Menghadapi
problematika memahami hadis Nabi, khususnya dikaitkan dengan konteks kekinian,
maka sangatlah penting untuk melakukan kritik hadis, khususnya kritik matan,
dalam artian mengungkap pemahaman, interpertasi, tafsiran yang benar mengenai
kandungan matan hadis. Meski upaya pemahaman terhadap hadis Nabi terus
dilakukan oleh ahli di bidangnya, tampaknya masih banyak hal yang perlu dikaji
mengingat adanya factor-faktor yang belum dipikirkan dan yang perlu dipikir
ulang yang melikupi kitaran pemahaman teks hadis Nabi.
Di
samping itu, ada faktor-faktor mendasar yang menyebabkan perlunya suatu
pendekatan yang menyeluruh dalam memahami hadis, dari sinilah muncul salah satu tokoh yang merupakan ulama pada
masanya, yang memberikan pemikirannya untuk memahami hadis dengan menurut
pandangannya, yaitu Syaikh Muhammad Al-Gazali.
B.
Biografi Muhammad Al-Gazali
1.
Riwayat Pendidikan
Syaikh
Muhammad Al-Gazali di lahirkan pada tanggal 22 September 1917 M. di Naklā
al-‘Inab, al-Buhairah Mesir, sebuah desa terkenal di Mesir yang banyak
melahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka pada zamannya. Di antara tokoh-tokoh
tersebut adalah Mahmūd Sāmī al-Bārūdī, Syaikh Salīm al-Bisyrī, Syaikh
Ibrāhīm Hamrūsy, Syaikh Muhammad ‘Abduh,
Mahmūd Syaltūt, Syaikh Hasan Al-Bannā, Muhammad al-Bahī, Syaikh
Muhammad al-Madanī, Syaikh ‘Abd al-‘Aziz ‘Isā, dan Syaikh ‘Abd Allāh
al-Musyid.[1]
Pendidikan
dasar Muhammad Al-Gazali dimulai dari madrasah di desanya, di situlah ia
menghafalkan al-Quran 30 juz. Setelah itu ia masuk sekolah agama Ibtidāiyyah
di Iskandariyah selama tiga tahun. Kemudian meneruskan pendidikan tsanawiyyah
selama dua tahun dan lulus pada tahun 1937 M. setelah itu ia melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin,
Universitas al-Azhar dan mendapat gelar serjana pada tahun 1914 M. pada
tahun1943 M ia mendapat gelar Magister dari Fakultas Bahasa Arab di Universitas
yang sama.
Setelah
lulus dari Universitas al-Azhar, aktivitasnya selain banyak berkecimpung dalam
bidang dakwah, ia juga banyak menggeluti dunia pendidikan dan kebudayaan.
Adapun aktivitas Muhammad Al-Gazali selama di Mesir adalah: tahun 1943, ia
ditunjuk sebagai Imam dan Khatib pada
Masjid al-Utba’ al-Khadra di Kairo, Muhammad Al-Gazali juga pernah menjabat
sebagai wakil Kementrian Wakaf dan Urusan dakwah Mesir. di Universitas al-Azhar Syaikh Muhammad
Al-Gazali mengajar di Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin, Dirāsah
al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah dan Fakultas Tarbiyyah. Pada tahun 1988,
pemerintah Mesir menganugerahkan bintang kehormatan tertinggi kepadanya dalam
bidang pengabdian kepada Islam.[2]
Aktivitas
di luar Mesir antara lain di Saudi Arabia, dia berdakwah dan memberikan ceramah
melalui radio, telivisi, dan menulis di berbagai majalah dan surat kabar, ia
juga memberikan kuliah di Universitas Umm al-Qurā (Mekkah) Saudi Arabia. Ia
merupakan orang pertama dari Mesir yang mendapatkan penghargaan Internasioanal Raja Faishal dari Kerajaan
Saudi Arabia.
Muhammad
Al-Gazali juga banyak menghabiskan waktunya di Qatar. Bahkan beliau mempunyai
peran yang besar dalam merealisasikan Fakultas Syari’ah di Universitas setempat, dan pernah di angkat menjadi guru
besar di Fakultas tersebut. Juga pernah
menjadi dosen di Universitas King ‘Abd ‘Azīz Jeddah.
Pada
setiap bulan ramadhan beliau juga sering di undang Pemerintah Kuwait untuk
mengisi kegiatan agama kenegaraan, juga
sering di undang mengisi seminar-seminar pemuda dan mahasiswa di Amerika
maupun di Eropa. Beliau juga menjadi tenaga pengajar di Universitas Amīr ‘Abd
al-Qadir Aljazair selama kurang lebih delapan tahun, atas jasanya beliau kembali
mendapatkan penghargaan berupa bintang kehormatan tertinggi di Aljazair dalam
bidang dakwah Islam.[3]
2.
Aktivitas di al-Ikhwān al-Muslimīn
Muhammad
Al-Gazali pertama kali berkenalan dengan
Hasan al-Banā (1906-1949 M), ketika itu ia masih sekolah di Tsanawiyyah
di Iskandariah, pada tahun 1935 M, di Masjid ‘Abd Rahmān bin Harmuz ketika
Hasan menyampaikan dakwahnya, perkenalan itu semakin intensif ketika Muhammad
Al-Gazali kuliah di al-Azhar Kairo, dan direkrut oleh Hasan al-Banā untuk
menjadi sebagai al-Ikhwān al-Muslimīn[4],
selanjutnya beliau menjadi salah tokohnya.
Walaupun Muhammad Al-Gazali aktif di gerakan ini, serta mengagumi sosok
Hasan al-Banā, akan tetapi tidak sampai pada taraf pengkultusannya, secara tegas ia mengatakan, seandainya
kepentingan al-Ikhwān al-Muslimīn belawanan dengan kepentingan Islam,
maka kepentingan Islam harus di dahulukan dari pada kepentingan al-Ikhwān
al-Muslimīn.[5]
Keterlibatannya
dengan al-Ikhwān al-Muslimīn, mengantarkannya ke dalam penjara militer
kelas satu Thanthā bersama pengikut Ikhwān, kemudian di pindahkan ke
penjara Haikastib, lau di pindahkan kepenjara al-Thūr di kota Sinai. Sesudah
keluar dari penjara pada akhir tahun 1949, beliau semakin tekun dalam
berdakwah.
Dua obyek
sasaran dakwah beliau adalah: pertama, musuh-musuh yang membenci dan
memerangi Islam, yakni Zionisme, kaum Kristen dan Komunisme. Walaupun mereka
beda pada keyakinan akan tetapi bersatu untuk menghancurkan Islam. Kedua,
umat Islam tidak mengetahui hakikat Islam, tetapi mengklaim sebagai seorang
yang ahli. Menurut beliu kelompok ini lebih berbahaya di bandingkan dari
kelompok pertama, karena mereka sering memecah belah umat Islam dengan
membesar-besarkan masalah-masalah khilafiyyah.[6]
3.
Karya-karyanya
Sebagai
ilmuwan yang sangat produktif, Muhammad Al-Gazali telah menulis beberapa puluh buku dalam
berbagai bidang, sebagian bukunya telah dicetak ulang, bahkan sampai dua puluh
kali, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta dijadikan refrensi
di berbagai Perguruan Tinggi.
Muhammad
Al-Gazali juga aktif menulis artikel di
beberpa majalah, di antaranya al-Muslimūn, al-Nadzīr, al-Mabāhits, Liwā’
al-Islām, al-Ikhwān, al-Fikr al-Jadīd, dan Majallah al-Azhar. Di
samping produktif menulis di berbagai majalah dan surat kabar Mesir, ia juga
aktif menulis untuk media massa di Saudi Arabia, misalnya, Majallah
al-Da’awah, al-Tadhāmun al-Islāmī, Majallah al-Rābithah dan surat kabar
harian dan mingguan. Sementara di Qatar ia menulis untuk Majallah al-Ummah, di
Kuwait menulis Majallah al-Wa’yu al-Islāmī dan al-Mujtama’.[7]
Di antara buku-buku karyanya adalah:
1). ‘Aqīdah al-Muslim
2). Azmah al-Syūra fi al-Mujtami’āt wa al-Ahādīts
al-Isdzā’iyyah
3). Fi Maukib al-Da’wah
4). Fiqh al-Sīrah
5). Hādzā Dīnunā
6). al-Haq al-Mur
7). Hashād al-Ghurūr
8). Hamūm Dā’iyah
9). ‘Illa wa Adwiyah
10). Jaddid Hayātaka
11). al-Jānib al-Āthifi min al-Islām
12). Kaifa Nafham al- Islām
13). Kaifa Nata’amāl ma’a al-Qur’ān al-Karīm
14). Khuluq al-Muslim
15). Kunūz min al-Sunnah
16). Nahwa Tafsīr Maudhū’i
17). Nazharāt fi al-Qur’ān
18). Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīts
19). Turātsuna al-Fikrī fi Mīzān al-Syar’I wa al-‘Aql
20). Zhallām min al-Gharb
Adapun
dari sekian karya Muhammad Al-Ghazali yang mengkaji permasalahan hadis dan Ulumul
Hadis secara mendalam adalah Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa
Ahl al-Hadīts, yang menjadi fokos kajian tulisan ini.
4.
Akhir hidupnya
Muhammad
Al-Ghazali meninggal akibat serangan
jantung kronis dan pembekuan darah yang sudah lama dideritanya, pada hari Sabtu
tanggla 19 Syawal 1416 H bertepatan dengan 9 Maret 1996, dunia Islam dikejutkan
dengan meninggalnya Muhammad Al-Gazali di Riyādh, ketika sedang memberikan
ceramah dan menghadiri seminar “Islam dan Barat” di Riyādh Saudi Arabia.
Jenazahnya diterbangkan dan dikebumikan di Mesir. beliau wafat pada usia 78
tahun.[8]
C.
Pemahaman Hadis Menurut Muhammad
Al-Ghazali
Pemahaman
hadis merupakan bagian dari kritik matan, dan kritik matan merupakan bagian
dari kritik hadis, Muhammad Al-Ghazali sebenarnya tidak memberikan penjelasan
langkah-langkah kongkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis Nabi.
Namun dari berbagai pernyataan dalam buku Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-Hadīts, dapat ditarik kesimpulan tentang tolak
ukur yang dipakai Muhammad Al-Gazali
dalam kritik matan (otentisitas matan dan pemahaman matan). Secara garis besar
metode yang di gunakan oleh Muhammad Al-Ghazali ada 4 macam, yaitu:[9]
1.
Pengujian dengan al-Qur’an
Muhammad
Al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami dan mengamalkan secara
tekstual hadis-hadis yang shahih sanadnya, namun matannya bertentangan dengan
al-Qur’an. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang
kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah al-Qur’an, tidak semua hadis orisinal, dan
tidak semua hadis dipahami secara benar oleh perawiyatnya.[10]
Al-Qur’an menurut Muhammad Al-Ghazali, adalah sumber pertama dan utama dari
pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah sumber kedua. Dalam memahami
al-Qur’an, kedudukan hadis sangatlah penting, karena hadis adalah penjelas
teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kajian
terhadap matan hadis, perlu upaya intensif memahami al-Qur’an.
Menurut
Muhammad Al-Ghazali setiap hadis harus dipahami dalam kerangka makna-makna yang
ditunjukkan oleh al-Qur’an baik secara langsung atau tidak. Ini artinya bisa
jadi terkait dengan makna lahiriyah kandungan al-Qur’an, atau pesan-pesan,
semangat dan nilai-nilai yang di kandung oleh ayat-ayat al-Qur’an, atapun
dengan menganalogkan (qiyās) yang didasarkan pada hukum-hukum
al-Qur’an.
Pengujian
dengan ayat-ayat al-Qur’an ini mendapat porsi atensi terbesar dari Muhammad
Al-Ghazali dibanding tiga tolak ukur
lainnya. Penerepan kritik hadis dengan pengujian al-Qur’an dijalankan secara
konsisten oleh Muhammad Al-Ghazali. Oleh karena itu, tidak sedikit hadis-hadis
yang dianggap shahih misalnya yang terdapat dalam kitab Shahīh al-Bukhārī
dan Shahīh Muslim dipandang dha’if oleh beliau. Bahkan secara tegas dia
mengatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan persoalan kemaslahatan dan
mu’amālah dunyāwiyyah, akan mengutamakan hadis yang sanadnya dha’if,
bila maknanya sinkron dengan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an, daripada hadis
yang sanadnya shahih akan tetapi kandungan maknanya tidak sinkron dengan inti
ajaran al-Qur’an.[11]
2.
Pengujian dengan Hadis
Pengujian
ini memilki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argument tidak
bertentangan dengan hadis mutawātir dan hadis lainnya yang lebih shahih.
Menurut Muhammad Al-Ghazali, suatu hukum yang berdasarkan agama tidak boleh
diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah dari yang lainnya. Tetapi, setiap
hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya. Kemudian hadis-hadis yang tergabung
itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’ān al-Karīm.
3.
Pengujian dengan Fakta Historis
Sesuatu
hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis muncul dalam historisitas tertentu,
oleh karenanya antara hadis dan sejarah memilki hubungan sinergis yang saling
menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dan fakta sejarah akan
menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh, demikian sebaliknya
bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah, maka salah satu di
antara keduanya diragukan kebenarannya.
4.
Pengujian dengan Fakta Historis
Pengujian
ini bisa diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan
dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, dan juga memenuhi rasa
keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh sebab itu,
adalah tidak masuk akal bila ada hadis Nabi mengabaikan rasa keadilan, dan
menurutnya, bagaimana pun shahihnya sanad sebuah hadis, jika muatan
informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan prinsip-prinsip
hak asasi manusia, maka hadis itu tidak layak pakai.
Studi
matan yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dapat dikategorisasikan menjadi empat,
yakni: (1) Pengujian dengan al-Qur’an, Hadis, Fakta Historis dan Kebenaran
Ilmiah (2) Pengujian dengan Hadis, Fakta
Historis dan Kebenaran Ilmiah (3) Pengujian
dengan Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah (4) Pengujian
dengan Kebenaran Ilmiah.
Berikut
ini beberapa kategorisasi beserta contoh atau tema hadis yang dingkat oleh
Muhammad Al-Ghazali dalam rangka mempraktikkan penguji kritik matan:
a.
Kategori Pertama: Pengujian dengan al-Qur’an, Hadis, Fakta Historis
dan Kebenaran Ilmiah
Hadis
tentang mayat diazab karena tangisan keluarganya
Hadis yang menjelaskan tentang orang mati diazab karena tangisan
keluarganya,[12]
oleh Ibn Sa’ad dalam al-Thabaqāt al-Kubrā diulang-ulang dengan
berbagai sanad yang berbeda. ‘Āisyah menolak hadis tersebut dengan alasan
bertentangan dengan firman Allah dalam Q.S.al-An’ām (6): 164.[13]
Sebagian ulama memberikan interpertasi bahwa yang dimaksud hadis di
atas adalah orang mukmin itu merasa sakit (merasa tersiksa, bukan disiksa oleh
Allah), setelah kematiannya disebabkan tangisan keluarganya. Menurut Muhammad
Al-Ghazali, pemahan seperti itu bertentangan dengan Q.S. Fushilat (41): 30.[14]
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa yang disiksa bukan
orang mukmin tetapi orang kafir, sesuai dengan
hadis Nabi dari. ‘Āisyah ditolak Muhammad Al-Ghazali. Bagi dia, penyiksaan
terhadap orang kafir terhadap sesuatau yang tidak diperbuatnya, tidak sesuai
dengan Q.S. al-Nahl (16): 25.[15]
Di samping itu, secara logika tangisan orang yang ditinggalkan seorang anggota
keluarganya adalah wajar dan sesuai dengan watak manusia, karena itu tidak
berdosa apabila melakukannya.
b.
Kategori Ketiga: Pengujian dengan Hadis, Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah
Hadis
tentang Nabi Mūsā menonjok mata malaikat pencabut nyawa
Hadis ini menjelaskan tentang Nabi Mūsā pernah menonjok mata
malaikat maut sehingga menyebabkan buta sebelah, ketika malaikat datang untuk
mencabut nyawanya,[16]menurut
beliau sanadnya shahih tetapi matannya menimbulkan keraguan, karena
mengisyaratkan Nabi Mūsā membenci kematian. Ia tidak menginginkan perjumpaan
dengan Allah setelah terpenuhi ajalnya. Hal ini tidak bisa diterima jika
dikaitkan dengan hamba-hamba Allah yang shalih, sebagaimana hadis Nabi,
“barang siapa mencintai berjumpa dengan Allah niscahya ia mempersiapkan diri
untuk bertemu dengan Allah”[17]
padahal Mūsā adalah Nabi Allah dan
golonan ūlū al-azmi.
Secara logika, hadis tersebut juga tidak bisa diterima, mengingat
malaikat tidak mengalami cacat-cacat
fisik seperti manusia, sehingga kebutaan kedua
mata atau sebelumnya, sulit diterima. Oleh sebab itu, matan hadis
tersebut mengandung ‘Illah (cacat). Disamping itu menurut Muhammad Al-Ghazali, hadis
tersebut dapat dipahami, bahwa Malaikat berkaat kepada Mūsā:”Penuhilah
panggilan Tuhanmu! Yakni usiamu telah habis. Bersiap-siaplah untuk menyerahkan
ruhmu kembali pulang kepada Tuhan”. Mūsā juga memohon agar dikubur di suatau
tempat”sejauh lemparan batu dari perbatasan Palestina”, negeri yang kaum Nabi Mūsā
tidak berani memasukinya, hadis ini juga tidak terkait dengan akidah dan
prilaku. Dengan demikian, hadis tersebut harus dipahami secara majāz.
c.
Kategori Keempat: Pengujian dengan Fakta Historis dan Kebenaran
Ilmiah
Hadis
tentang keutamaan negeri Syām
Menurut Muhammad Al-Ghazali, dalam kitab al-Targhīb wa
al-Tarhīb, al-Mundzirī menyebutkan tentang keutamaan daerah Syām serta
keutamaan tinggal di sana.[18]
Namun, menurut Muhammad Al-Ghazali hadis tersebut harus dipahami secara
kontekstual universal. Dalam sejarah, Negara Pelistina bagian dari Syām, maka
melarikan diri dari sana merupakan pembangkangan terhadap agama. Sebaliknya
tetapi tinggal di sana adalah bagian jihad. Demikian juga setiap orang yang
memperhatikan Islam di Afganistan, Filifina dan daerah-daerah muslim lainnya,
semuanya mempunyai hak yang sama seperti daerah Syām, mengingat daerah-daerah
Muslim akhir-akhir ini terancam berbagai serbuan dari berbagai arah.
d.
Kategori Kelima: Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah
Hadis
tentang laki-laki yang dicurigai berbuat serong dengan ummu walad.
Hadis yang membicarakan tentang seorang laki-laki yang pernah
dicurigai berbuat serong terhadap ummu walad milik Rasulullah, kemudian
‘Ali disuruh untuk membunuhnya,[19]
menurut Muhammad
Al-Ghazali perlu diragukan. Sungguh mustahil menjatuhkan hukuman mati dengan
tuduhan yang belum diselidiki kebenarannya dan belum ada pembelaan dari si
tertuduh, bahkan tuduhan tersebut bohong. Bagi Muhammad Al-Ghazali, Islam tidak
memberikan wewenang kepada penguasa sehingga boleh menjatuhkan hukuman mati
berdasarkan desas desus atau berita yang merugikan. Nyawa manusia tidak boleh
dihilangkan begitu saja tanpa bukti-bukti yang kuat.
Pembahasan yang disampaikan oleh Muhammad
Gazali ini sebenarnya sudah ada yang mengungkapkan perihal yang sama dari masa
sebelum masanya, terlebih khusus ungkapan tentang pengujian kebenaran
ilmiahan hadis, padahal ada hadis tidak
semua dapat diilmiahkan, untuk zaman sekarang
mengilmiahkan merupakan penguatan terhadap hadis tersebut, dengan seiring perkembangan zaman, akan
tetapi pada dasarnya tidak semua yang dapat diilmiahkan. Sehingga tidak bisa
kita mengklim apabila hadis ini tidak sesuai dengan ilmiah, maka dianggap tidak shahih hadis
tersebut, walaupun hadis tersebut dari segi sanad dan matannya shahih.
D.
Penutup
Muhammad
Al-Ghazali merupakan ulama besar di Mesir yang banyak memberikan
sumbingsih yang besar dalam dunia Islam,
baik berupa dkwah dan dalam bentuk tulisan, di antaranya dalam bidang
hadis, dalam rangka untuk memahami hadis ada 4 macam cara untuk memahaminya, yaitu:
-
Pengujian dengan al-Qur’an.
-
Pengujian dengan Hadis.
-
Pengujian dengan Fakta Historis.
-
Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah.
Studi
matan yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dapat dikategorisasikan menjadi
lima, yakni:
-Pengujian
dengan al-Qur’an, Hadis, Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah.
-Pengujian dengan al-Qur’an,
Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah.
-
Pengujian dengan Hadis, Fakta Historis
dan Kebenaran Ilmiah.
-
Pengujian dengan Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah.
-Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah.
Daftar Pustaka
Al-BukhārīMuhammad bin Isma’il Abu
‘Abdillah, Shahīh al-Bukhārī Bairut: Dār al-Kotob Ilmiyah, 2012.
Al-Ghazali Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh
wa Ahl al-Hadīts, di terjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis
atas Hadis Nabi Bandung: Mizan, 1994.
Hakim, Masykur dan Ubaidilah, Al-Qur’an
Kitab Pada Zaman Kita Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2008.
An-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin Hajjāj, Shahīh Muslim
Bairut: Dār Fikr, 2010..
Suryadi,
Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Yogyakrta: Sukse Ofsset, 2008.
As-Syaibani, Ahmad
bin Hanbal Abu ‘Abdillah, Musnad Ahmad bin Hanbal Bairut: Dār al-Kotob
Ilmiyah, 2012.
At-Tirmidzi
Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi Bairut: Dār al-Kotob
Ilmiyah, 2012.
[4]
al-Ikhwān
al-Muslimīn didirikan pada bulan Maret 1928 oleh Hasan al-Banā (1906-1949 M). organisasi ini pada mulanya merupakan gerakan
dakwah, meningkat menjadi gerakan politik dalam rangka menghadapi invasi
Inggris, dengan motto perjuangannya: al-Quran sebagai dasar, Rasulullah sebagai
teladan, jihad sebagai jalan perjuangan dan syāhid sebagai cita-cita
hidup serta Islam sebagai ajaran tertulis. al-Ikhwān al-Muslimīn juga
merupakan gerekan Islam modern, sekaligus juga sebagai pusat pembaruan
ke-Islam-an dan aktivitas islam sesudah jatuhnya khilafah yangt menyebabkan
umat terpecah dalam beberapa kelompok. al-Ikhwān al-Muslimīn juga
merupakan induk dan sumber inspirasi utama berbagai organisasi Islam di Mesir
dan beberpa Negara Arab lainnya. Mereka memiliki 300 cabang lebih yang menyebar
luaskan gagasan-gagasannya, termasuk juga mendirikan berbagai perusahaan,
pabrik, sekolah dan rumah sakit, serta menyusup ke berbagai organisasi,
termasuk serikat dagang dan angkatan bersenjata.
[8] Masykur Hakim
dan Ubaidilah, Al-Qur’an Kitab Pada Zaman Kita, (Jakarta: PT Mizan
Pustaka, 2008), h 21. Lihat Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi,
h 29.
[10]Muhammad
al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyyah
baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīts, di terjemahkan oleh Muhammad al-Baqir,
Studi Kritis atas Hadis Nabi, (Bandung: Mizan, 1994), h 18-21.
[12]إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ
بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ Artinya: “Sesungguhnya seorang mayit
akan diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya” lihat Abu al-Husain Muslim
bin Hajjāj An-Naisaburi, Shahīh Muslim, juz 3 (Bairut: Dār Fikr,
2010), h 41.
[13]وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ Artinya: “Dan tidaklah membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanlah kamu
kembali, dan akan diberitakanNya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.
[14]إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا
رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ
أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ
تُوعَدُونَ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami
ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
kepada mereka (dengan mengatakan): Janganlah kamu merasa takut dan janganlah
merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) syurga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu”.
[15]لِيَحْمِلُوا
أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ
يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ Artinya:
“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan
sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka
sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan_. Ingatlah,
amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”.
[16]جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى
عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لَهُ أَجِبْ رَبَّكَ - قَالَ - فَلَطَمَ مُوسَى
عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا قَالَ فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللَّهِ
تَعَالَى فَقَالَ إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِى إِلَى عَبْدٍ لَكَ لاَ يُرِيدُ الْمَوْتَ
وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِى قَالَ فَرَدَّ
اللَّهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ ارْجِعْ إِلَى عَبْدِى فَقُلِ الْحَيَاةَ
تُرِيدُ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ
فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً قَالَ ثُمَّ
مَهْ قَالَ ثُمَّ تَمُوتُ. قَالَ فَالآنَ مِنْ قَرِيبٍ رَبِّ أَمِتْنِى مِنَ
الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم وَاللَّهِ لَوْ أَنِّى عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ
الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكَثِيبِ الأَحْمَرِ Artinya:” Malaikat naut medatangi Musa a.s. lalu berkata kepadanya:
Penuhilah panggilan Tuhan. Mendengar itu, Musa meninju mata malaikat maut
sehingga menyebabkabuta sebelah. Lalu malaikat kembali kepada Allah Ta’la dan
berkata: Engkau telah mengutus aku menemui seorang hamba-Mu yang membenci
kematian. Dan ia telah membutakan mataku. Maka Allah mengembalikan mata
tersebut kepada malaikat, seraya berfirman: Kembalilah kepada hamba-Ku dan
katakanlah kepadanya:”Adakah engkau masih hidup lebih lama/jika demikian,
letakanlah tanganmu di atas punggung kerbau. Untuk setiap helai bulunya yang
tertutupi oleh tanganmu itu, engkau akan mendapatkan tambahan hidup setahun
lebih lama.” Ketika hal itu disampaikan kepada Musa, ia bertanya: Setelah itu,
apa yang akan terjadi ? Jawab Malaikat: setelah itu engkau akan mati. Mendengar
itu, Musa berkata: Kalau begitu, lebih baik sekarang juga. Tuhanku, amtikanlah
aku di tempat yang dekat dengan Tanag
Suci sebatas lemparan batu. Rasulullah saw. Selanjutnya bersabda: Demi Allah,
seandainya aku berada di tempat itu, akan kutunjukkan kepada kalian letak
kuburnya di tepi jalan, pada gungudakan pasir berwarna merah”. Lihat Muslim bin
Hajjāj An-Naisaburi, Shahīh Muslim, h 99.
[17]
من أحب لقاء الله أحب الله لقاءه ومن
كره لقاء الله كره الله لقاءه قلنا يا رسول الله كلنا نكره الموت قال ليس ذاك
كراهية الموت ولكن المؤمن إذا حضر جاءه البشير من الله عز و جل بما هو صائر إليه
فليس شيء أحب إليه من ان يكون قد لقي الله عز و جل فأحب الله لقاءه وان الفاجر أو
الكافر إذا حضر جاءه بما هو صائر إليه من الشر أو ما يلقاه من الشر فكره لقاء الله
وكره الله لقاءه
Artinya: “
Barangsiapa menykuai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun menyukai
perjumpaan dengannya. Dan barangsiapa tidak menyukai perjumpaan dengan Allah,
maka Ia juga tidak menyukai perjumpaan dengannya. Kami berakat: Ya Rasulullah,
kami semua tidak menyukai kematian! Dan beliau berkata: Bukan itu maksudnya.
Tetapi seorang mukmin, apabila menghadapi ajalnya, datanglah kepadanya pembawa
berita gembira dari Allah swt. Yang menunjukkan tempat yang akan didatanginya
atau keadaan yang akan dialaminya. Maka taka da suatu pun yangt lebih
disukainya daripada saat ia berjumpa dengan Allah swt. Karenanya, ia akan
sangat mengiginkan perjumpaan dengan-Nya.
Adapun seorang fajir atau kafir, apabila menghadapi ajalnya, datanglah pembawa
ancaman yang menunjukkan kepadanya keburukan tempat yang akan didatanginya atau
keburukan keadaan yang akan dialaminya. Oleh karena, ia tidak menyukai
perjumpaan dengan Allah, sehingga Allah pun tak menyukainya”. Lihat Ahmad bin
Hanbal Abu ‘Abdillah As-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3 (Bairut:
Dār al-Kotob Ilmiyah, 2012), h 107.
[18]طوبى للشأم فقلنا لأي ذلك يا رسول
الله ؟ قال لأن ملائكة الرحمن باسطة أجنحتها عليها Artinya: “
Berbahagialah daerah Syām. Malaikat Allah al-Rahmān membuka
sayap-sayapnya untuk menaunginya”.Lihat Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa At-Tirmidzi,
Sunan at-Tirmidzi juz 4, (Bairut: Dār al-Kotob Ilmiyah, 2012), h 734.
[19]عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً كَانَ
يُتَّهَمُ بِأُمِّ وَلَدِ رَسُولِ اللَّهِصلى الله عليه وسلم فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِىٍّ « اذْهَبْ فَاضْرِبْ عُنُقَهُ ». فَأَتَاهُ
عَلِىٌّ فَإِذَا هُوَ فِى رَكِىٍّ يَتَبَرَّدُ فِيهَا فَقَالَ لَهُ عَلِىٌّ
اخْرُجْ. فَنَاوَلَهُ يَدَهُ فَأَخْرَجَهُ فَإِذَا هُوَ مَجْبُوبٌ لَيْسَ لَهُ
ذَكَرٌ فَكَفَّ عَلِىٌّ عَنْهُ ثُمَّ أَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَمَجْبُوبٌ مَا لَهُ ذَكَرٌ Artinya: “Dari
Anas bahwa seorang laki-laki dicurigai berbuat serong ummu walad (ialah
budak perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki yang memilikinya)
milik Rasulullah saw. Maka Rasulullah
berkata kepada ‘Ali r.a: Pergilah kepadanya dan bunuhlah ia! Lalu ‘Ali
mendapati orang itu sedang mandi di sebuah kolam air dan segara memerintahkan
kepadanya agar keluar dari kolam tersebut. Dengan dibantu oleh ‘Ali, orang itu
keluar dan ternyata ia adalah seorang yang telah terpotong alat kelaminnya!
Menyaksikan hal itu, ‘Ali melepaskannya dan segera melapor kepada Rasulullah saw.
Katanya: Ya Rasulullah, orang itu ternyata tidak memiliki lata kelamin”. Lihat
Muslim bin Hajjāj An-Naisaburi, Shahīh Muslim, h 119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar