Rabu, 04 Januari 2017


Model Kritik Hadis Versi Ulama Hadis Kontemporer (Telaah Pemikiran  Syaikh Muhammad Al-Gazali)

A.          Pendahuluan
Problem pemahaman  hadis Nabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk dikaji, hal ini karena hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an yang dalam banyak aspek berbeda dengan al-Qur’an. Perkembangan pemikiran terhadap hadis memang tidak sesemarak yang terjadi pemikiran terhadap al-Qur’an.
Menghadapi problematika memahami hadis Nabi, khususnya dikaitkan dengan konteks kekinian, maka sangatlah penting untuk melakukan kritik hadis, khususnya kritik matan, dalam artian mengungkap pemahaman, interpertasi, tafsiran yang benar mengenai kandungan matan hadis. Meski upaya pemahaman terhadap hadis Nabi terus dilakukan oleh ahli di bidangnya, tampaknya masih banyak hal yang perlu dikaji mengingat adanya factor-faktor yang belum dipikirkan dan yang perlu dipikir ulang yang melikupi kitaran pemahaman teks hadis Nabi.
Di samping itu, ada faktor-faktor mendasar yang menyebabkan perlunya suatu pendekatan yang menyeluruh dalam memahami hadis, dari sinilah muncul  salah satu tokoh yang merupakan ulama pada masanya, yang memberikan pemikirannya untuk memahami hadis dengan menurut pandangannya, yaitu Syaikh Muhammad Al-Gazali.















B.           Biografi Muhammad Al-Gazali
1.            Riwayat Pendidikan
Syaikh Muhammad Al-Gazali di lahirkan pada tanggal 22 September 1917 M. di Naklā al-‘Inab, al-Buhairah Mesir, sebuah desa terkenal di Mesir yang banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka pada zamannya. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Mahmūd Sāmī al-Bārūdī, Syaikh Salīm al-Bisyrī, Syaikh Ibrāhīm Hamrūsy, Syaikh Muhammad ‘Abduh,  Mahmūd Syaltūt, Syaikh Hasan Al-Bannā, Muhammad al-Bahī, Syaikh Muhammad al-Madanī, Syaikh ‘Abd al-‘Aziz ‘Isā, dan Syaikh ‘Abd Allāh al-Musyid.[1]
Pendidikan dasar Muhammad Al-Gazali dimulai dari madrasah di desanya, di situlah ia menghafalkan al-Quran 30 juz. Setelah itu ia masuk sekolah agama Ibtidāiyyah di Iskandariyah selama tiga tahun. Kemudian meneruskan pendidikan tsanawiyyah selama dua tahun dan lulus pada tahun 1937 M. setelah itu  ia melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar dan mendapat gelar serjana pada tahun 1914 M. pada tahun1943 M ia mendapat gelar Magister dari Fakultas Bahasa Arab di Universitas yang sama.
Setelah lulus dari Universitas al-Azhar, aktivitasnya selain banyak berkecimpung dalam bidang dakwah, ia juga banyak menggeluti dunia pendidikan dan kebudayaan. Adapun aktivitas Muhammad Al-Gazali selama di Mesir adalah: tahun 1943, ia ditunjuk  sebagai Imam dan Khatib pada Masjid al-Utba’ al-Khadra di Kairo, Muhammad Al-Gazali juga pernah menjabat sebagai wakil Kementrian Wakaf dan Urusan dakwah Mesir. di  Universitas al-Azhar Syaikh Muhammad Al-Gazali mengajar di Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin, Dirāsah al-‘Arabiyyah wa al-Islāmiyyah dan Fakultas Tarbiyyah. Pada tahun 1988, pemerintah Mesir menganugerahkan bintang kehormatan tertinggi kepadanya dalam bidang  pengabdian kepada Islam.[2]
Aktivitas di luar Mesir antara lain di Saudi Arabia, dia berdakwah dan memberikan ceramah melalui radio, telivisi, dan menulis di berbagai majalah dan surat kabar, ia juga memberikan kuliah di Universitas Umm al-Qurā (Mekkah) Saudi Arabia. Ia merupakan orang pertama dari Mesir yang mendapatkan penghargaan  Internasioanal Raja Faishal dari Kerajaan Saudi Arabia.
Muhammad Al-Gazali juga banyak menghabiskan waktunya di Qatar. Bahkan beliau mempunyai peran yang besar dalam merealisasikan Fakultas Syari’ah di Universitas  setempat, dan pernah di angkat menjadi guru besar  di Fakultas tersebut. Juga pernah menjadi dosen di Universitas King ‘Abd ‘Azīz Jeddah.
Pada setiap bulan ramadhan beliau juga sering di undang Pemerintah Kuwait untuk mengisi kegiatan agama kenegaraan, juga  sering di undang mengisi seminar-seminar pemuda dan mahasiswa di Amerika maupun di Eropa. Beliau juga menjadi tenaga pengajar di Universitas Amīr ‘Abd al-Qadir Aljazair selama kurang lebih delapan tahun, atas jasanya beliau kembali mendapatkan penghargaan berupa bintang kehormatan tertinggi di Aljazair dalam bidang dakwah Islam.[3]
2.            Aktivitas di al-Ikhwān al-Muslimīn
Muhammad Al-Gazali pertama kali berkenalan dengan  Hasan al-Banā (1906-1949 M), ketika itu ia masih sekolah di Tsanawiyyah di Iskandariah, pada tahun 1935 M, di Masjid ‘Abd Rahmān bin Harmuz ketika Hasan menyampaikan dakwahnya, perkenalan itu semakin intensif ketika Muhammad Al-Gazali kuliah di al-Azhar Kairo, dan direkrut oleh Hasan al-Banā untuk menjadi sebagai al-Ikhwān al-Muslimīn[4], selanjutnya beliau menjadi salah tokohnya.  Walaupun Muhammad Al-Gazali aktif di gerakan ini, serta mengagumi sosok Hasan al-Banā, akan tetapi tidak sampai pada taraf pengkultusannya,  secara tegas ia mengatakan, seandainya kepentingan al-Ikhwān al-Muslimīn belawanan dengan kepentingan Islam, maka kepentingan Islam harus di dahulukan dari pada kepentingan al-Ikhwān al-Muslimīn.[5]
Keterlibatannya dengan al-Ikhwān al-Muslimīn, mengantarkannya ke dalam penjara militer kelas satu Thanthā bersama pengikut Ikhwān, kemudian di pindahkan ke penjara Haikastib, lau di pindahkan kepenjara al-Thūr di kota Sinai. Sesudah keluar dari penjara pada akhir tahun 1949, beliau semakin tekun dalam berdakwah.
Dua obyek sasaran dakwah beliau adalah: pertama, musuh-musuh yang membenci dan memerangi Islam, yakni Zionisme, kaum Kristen dan Komunisme. Walaupun mereka beda pada keyakinan akan tetapi bersatu untuk menghancurkan Islam. Kedua, umat Islam tidak mengetahui hakikat Islam, tetapi mengklaim sebagai seorang yang ahli. Menurut beliu kelompok ini lebih berbahaya di bandingkan dari kelompok pertama, karena mereka sering memecah belah umat Islam dengan membesar-besarkan masalah-masalah khilafiyyah.[6]
3.            Karya-karyanya
Sebagai ilmuwan yang sangat produktif, Muhammad Al-Gazali   telah menulis beberapa puluh buku dalam berbagai bidang, sebagian bukunya telah dicetak ulang, bahkan sampai dua puluh kali, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta dijadikan refrensi di berbagai Perguruan Tinggi.
Muhammad Al-Gazali   juga aktif menulis artikel di beberpa majalah, di antaranya al-Muslimūn, al-Nadzīr, al-Mabāhits, Liwā’ al-Islām, al-Ikhwān, al-Fikr al-Jadīd, dan Majallah al-Azhar. Di samping produktif menulis di berbagai majalah dan surat kabar Mesir, ia juga aktif menulis untuk media massa di Saudi Arabia, misalnya, Majallah al-Da’awah, al-Tadhāmun al-Islāmī, Majallah al-Rābithah dan surat kabar harian dan mingguan. Sementara di Qatar ia menulis untuk Majallah al-Ummah, di Kuwait menulis Majallah al-Wa’yu al-Islāmī dan al-Mujtama’.[7]
Di antara buku-buku karyanya adalah:
1). ‘Aqīdah al-Muslim
2). Azmah al-Syūra fi al-Mujtami’āt wa al-Ahādīts al-Isdzā’iyyah
3). Fi Maukib al-Da’wah
4). Fiqh al-Sīrah
5). Hādzā Dīnunā
6). al-Haq al-Mur
7). Hashād al-Ghurūr
8). Hamūm Dā’iyah
9). ‘Illa wa Adwiyah
10). Jaddid Hayātaka
11). al-Jānib al-Āthifi min al-Islām
12). Kaifa Nafham al- Islām
13). Kaifa Nata’amāl ma’a al-Qur’ān al-Karīm
14). Khuluq al-Muslim
15). Kunūz min al-Sunnah
16). Nahwa Tafsīr Maudhū’i
17). Nazharāt fi al-Qur’ān
18). Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīts
19). Turātsuna al-Fikrī fi Mīzān al-Syar’I wa al-‘Aql
20). Zhallām min al-Gharb
Adapun dari  sekian karya  Muhammad Al-Ghazali   yang mengkaji permasalahan hadis dan Ulumul Hadis secara mendalam adalah Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīts, yang menjadi fokos kajian tulisan ini.
4.            Akhir hidupnya
Muhammad Al-Ghazali  meninggal akibat serangan jantung kronis dan pembekuan darah yang sudah lama dideritanya, pada hari Sabtu tanggla 19 Syawal 1416 H bertepatan dengan 9 Maret 1996, dunia Islam dikejutkan dengan meninggalnya Muhammad Al-Gazali di Riyādh, ketika sedang memberikan ceramah dan menghadiri seminar “Islam dan Barat” di Riyādh Saudi Arabia. Jenazahnya diterbangkan dan dikebumikan di Mesir. beliau wafat pada usia 78 tahun.[8]
C.          Pemahaman Hadis Menurut  Muhammad Al-Ghazali
Pemahaman hadis merupakan bagian dari kritik matan, dan kritik matan merupakan bagian dari kritik hadis, Muhammad Al-Ghazali sebenarnya tidak memberikan penjelasan langkah-langkah kongkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis Nabi. Namun dari berbagai pernyataan dalam buku Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīts, dapat ditarik kesimpulan tentang tolak ukur  yang dipakai Muhammad Al-Gazali dalam kritik matan (otentisitas matan dan pemahaman matan). Secara garis besar metode yang di gunakan oleh Muhammad Al-Ghazali ada 4 macam, yaitu:[9]
1.            Pengujian dengan al-Qur’an
Muhammad Al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami dan mengamalkan secara tekstual hadis-hadis yang shahih sanadnya, namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah  al-Qur’an, tidak semua hadis orisinal, dan tidak semua hadis dipahami secara benar oleh perawiyatnya.[10] Al-Qur’an menurut Muhammad Al-Ghazali, adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an, kedudukan hadis sangatlah penting, karena hadis adalah penjelas teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kajian terhadap matan hadis, perlu upaya intensif memahami al-Qur’an.
Menurut Muhammad Al-Ghazali setiap hadis harus dipahami dalam kerangka makna-makna yang ditunjukkan oleh al-Qur’an baik secara langsung atau tidak. Ini artinya bisa jadi terkait dengan makna lahiriyah kandungan al-Qur’an, atau pesan-pesan, semangat dan nilai-nilai yang di kandung oleh ayat-ayat al-Qur’an, atapun dengan menganalogkan (qiyās) yang didasarkan pada hukum-hukum al-Qur’an.
Pengujian dengan ayat-ayat al-Qur’an ini mendapat porsi atensi terbesar dari Muhammad Al-Ghazali dibanding  tiga tolak ukur lainnya. Penerepan kritik hadis dengan pengujian al-Qur’an dijalankan secara konsisten oleh Muhammad Al-Ghazali. Oleh karena itu, tidak sedikit hadis-hadis yang dianggap shahih misalnya yang terdapat dalam kitab Shahīh al-Bukhārī dan Shahīh Muslim dipandang  dha’if oleh beliau. Bahkan secara tegas dia mengatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan persoalan kemaslahatan dan mu’amālah dunyāwiyyah, akan mengutamakan hadis yang sanadnya dha’if, bila maknanya sinkron dengan prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an, daripada hadis yang sanadnya shahih akan tetapi kandungan maknanya tidak sinkron dengan inti ajaran al-Qur’an.[11]
2.            Pengujian dengan Hadis
Pengujian ini memilki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argument tidak bertentangan dengan hadis mutawātir dan hadis lainnya yang lebih shahih. Menurut Muhammad Al-Ghazali, suatu hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah dari yang lainnya. Tetapi, setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya. Kemudian hadis-hadis yang tergabung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’ān al-Karīm.
3.            Pengujian dengan Fakta Historis
Sesuatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis muncul dalam historisitas tertentu, oleh karenanya antara hadis dan sejarah memilki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh, demikian sebaliknya bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah, maka salah satu di antara keduanya diragukan kebenarannya.
4.            Pengujian dengan Fakta Historis
Pengujian ini bisa diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, dan juga memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, adalah tidak masuk akal bila ada hadis Nabi mengabaikan rasa keadilan, dan menurutnya, bagaimana pun shahihnya sanad sebuah hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka hadis itu tidak layak pakai.
Studi matan yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dapat dikategorisasikan menjadi empat, yakni: (1) Pengujian dengan al-Qur’an, Hadis, Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah (2) Pengujian dengan Hadis,  Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah (3) Pengujian dengan Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah (4) Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah.
Berikut ini beberapa kategorisasi beserta contoh atau tema hadis yang dingkat oleh Muhammad Al-Ghazali dalam rangka mempraktikkan penguji kritik matan:
a.      Kategori Pertama: Pengujian dengan al-Qur’an, Hadis, Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah
Hadis tentang mayat diazab karena tangisan keluarganya
Hadis yang menjelaskan tentang orang mati diazab karena tangisan keluarganya,[12] oleh Ibn Sa’ad dalam al-Thabaqāt al-Kubrā diulang-ulang dengan berbagai sanad yang berbeda. ‘Āisyah menolak hadis tersebut dengan alasan bertentangan dengan firman Allah dalam Q.S.al-An’ām (6): 164.[13]
Sebagian ulama memberikan interpertasi bahwa yang dimaksud hadis di atas adalah orang mukmin itu merasa sakit (merasa tersiksa, bukan disiksa oleh Allah), setelah kematiannya disebabkan tangisan keluarganya. Menurut Muhammad Al-Ghazali, pemahan seperti itu bertentangan dengan Q.S. Fushilat (41): 30.[14]
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa yang disiksa bukan orang mukmin tetapi orang kafir, sesuai dengan hadis Nabi dari. ‘Āisyah ditolak Muhammad Al-Ghazali. Bagi dia, penyiksaan terhadap orang kafir terhadap sesuatau yang tidak diperbuatnya, tidak sesuai dengan Q.S. al-Nahl (16): 25.[15] Di samping itu, secara logika tangisan orang yang ditinggalkan seorang anggota keluarganya adalah wajar dan sesuai dengan watak manusia, karena itu tidak berdosa apabila melakukannya.
b.      Kategori Ketiga: Pengujian dengan Hadis,  Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah
Hadis tentang Nabi Mūsā menonjok mata malaikat pencabut nyawa
Hadis ini menjelaskan tentang Nabi Mūsā pernah menonjok mata malaikat maut sehingga menyebabkan buta sebelah, ketika malaikat datang untuk mencabut nyawanya,[16]menurut beliau sanadnya shahih tetapi matannya menimbulkan keraguan, karena mengisyaratkan Nabi Mūsā membenci kematian. Ia tidak menginginkan perjumpaan dengan Allah setelah terpenuhi ajalnya. Hal ini tidak bisa diterima jika dikaitkan dengan hamba-hamba Allah yang shalih, sebagaimana hadis Nabi, “barang siapa mencintai berjumpa dengan Allah niscahya ia mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah”[17] padahal  Mūsā adalah Nabi Allah dan golonan ūlū al-azmi.
Secara logika, hadis tersebut juga tidak bisa diterima, mengingat malaikat tidak mengalami cacat-cacat fisik seperti manusia, sehingga kebutaan kedua  mata atau sebelumnya, sulit diterima. Oleh sebab itu, matan hadis tersebut mengandung ‘Illah (cacat). Disamping  itu menurut Muhammad Al-Ghazali, hadis tersebut dapat dipahami, bahwa Malaikat berkaat kepada Mūsā:”Penuhilah panggilan Tuhanmu! Yakni usiamu telah habis. Bersiap-siaplah untuk menyerahkan ruhmu kembali pulang kepada Tuhan”. Mūsā juga memohon agar dikubur di suatau tempat”sejauh lemparan batu dari perbatasan Palestina”, negeri yang kaum Nabi Mūsā tidak berani memasukinya, hadis ini juga tidak terkait dengan akidah dan prilaku. Dengan demikian, hadis tersebut harus dipahami secara majāz.
c.       Kategori Keempat: Pengujian dengan Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah
Hadis tentang keutamaan negeri Syām
Menurut Muhammad Al-Ghazali, dalam kitab al-Targhīb wa al-Tarhīb, al-Mundzirī menyebutkan tentang keutamaan daerah Syām serta keutamaan tinggal di sana.[18] Namun, menurut Muhammad Al-Ghazali hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual universal. Dalam sejarah, Negara Pelistina bagian dari Syām, maka melarikan diri dari sana merupakan pembangkangan terhadap agama. Sebaliknya tetapi tinggal di sana adalah bagian jihad. Demikian juga setiap orang yang memperhatikan Islam di Afganistan, Filifina dan daerah-daerah muslim lainnya, semuanya mempunyai hak yang sama seperti daerah Syām, mengingat daerah-daerah Muslim akhir-akhir ini terancam berbagai serbuan dari berbagai arah.
d.      Kategori Kelima: Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah
Hadis tentang laki-laki yang dicurigai berbuat serong dengan ummu walad.
Hadis yang membicarakan tentang seorang laki-laki yang pernah dicurigai berbuat serong terhadap ummu walad milik Rasulullah, kemudian ‘Ali disuruh untuk membunuhnya,[19] menurut Muhammad Al-Ghazali perlu diragukan. Sungguh mustahil menjatuhkan hukuman mati dengan tuduhan yang belum diselidiki kebenarannya dan belum ada pembelaan dari si tertuduh, bahkan tuduhan tersebut bohong. Bagi Muhammad Al-Ghazali, Islam tidak memberikan wewenang kepada penguasa sehingga boleh menjatuhkan hukuman mati berdasarkan desas desus atau berita yang merugikan. Nyawa manusia tidak boleh dihilangkan begitu saja tanpa bukti-bukti yang kuat.
Pembahasan yang disampaikan oleh Muhammad Gazali ini sebenarnya sudah ada yang mengungkapkan perihal yang sama dari masa sebelum masanya, terlebih khusus ungkapan tentang pengujian kebenaran ilmiahan  hadis, padahal ada hadis tidak semua dapat diilmiahkan, untuk zaman sekarang  mengilmiahkan merupakan penguatan terhadap hadis tersebut,  dengan seiring perkembangan zaman, akan tetapi pada dasarnya tidak semua yang dapat diilmiahkan. Sehingga tidak bisa kita mengklim apabila hadis ini tidak sesuai dengan  ilmiah, maka dianggap tidak shahih hadis tersebut, walaupun hadis tersebut dari segi sanad dan matannya shahih.

D.          Penutup

Muhammad Al-Ghazali merupakan ulama besar di Mesir yang banyak memberikan sumbingsih  yang besar dalam dunia Islam, baik berupa dkwah dan dalam bentuk tulisan, di antaranya dalam bidang hadis,  dalam rangka untuk  memahami hadis  ada 4 macam cara untuk memahaminya, yaitu:
- Pengujian dengan al-Qur’an.
- Pengujian dengan Hadis.
- Pengujian dengan Fakta Historis.
- Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah.
Studi matan yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dapat dikategorisasikan menjadi lima, yakni:
-Pengujian dengan al-Qur’an, Hadis, Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah.
 -Pengujian dengan al-Qur’an, Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah.
- Pengujian dengan Hadis,  Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah.
- Pengujian dengan Fakta Historis dan Kebenaran Ilmiah.
 -Pengujian dengan Kebenaran Ilmiah.

Daftar Pustaka
Al-BukhārīMuhammad bin Isma’il Abu ‘Abdillah, Shahīh al-Bukhārī Bairut: Dār al-Kotob Ilmiyah, 2012.
Al-Ghazali Muhammad,  Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīts, di terjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas Hadis Nabi Bandung: Mizan, 1994.
Hakim, Masykur dan Ubaidilah, Al-Qur’an Kitab Pada Zaman Kita Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2008.
An-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin Hajjāj, Shahīh Muslim Bairut: Dār Fikr, 2010..
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Yogyakrta: Sukse Ofsset, 2008.
As-Syaibani, Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdillah, Musnad Ahmad bin Hanbal Bairut: Dār al-Kotob Ilmiyah, 2012.
At-Tirmidzi Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa, Sunan at-Tirmidzi Bairut: Dār al-Kotob Ilmiyah, 2012.














[1]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakrta: Sukse Ofsset, 2008) h 24.
[2]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi,  h 24-25.
[3]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi,  h 26.
[4] al-Ikhwān al-Muslimīn didirikan pada bulan Maret 1928 oleh Hasan al-Banā  (1906-1949 M). organisasi ini pada mulanya merupakan gerakan dakwah, meningkat menjadi gerakan politik dalam rangka menghadapi invasi Inggris, dengan motto perjuangannya: al-Quran sebagai dasar, Rasulullah sebagai teladan, jihad sebagai jalan perjuangan dan syāhid sebagai cita-cita hidup serta Islam sebagai ajaran tertulis. al-Ikhwān al-Muslimīn juga merupakan gerekan Islam modern, sekaligus juga sebagai pusat pembaruan ke-Islam-an dan aktivitas islam sesudah jatuhnya khilafah yangt menyebabkan umat terpecah dalam beberapa kelompok. al-Ikhwān al-Muslimīn juga merupakan induk dan sumber inspirasi utama berbagai organisasi Islam di Mesir dan beberpa Negara Arab lainnya. Mereka memiliki 300 cabang lebih yang menyebar luaskan gagasan-gagasannya, termasuk juga mendirikan berbagai perusahaan, pabrik, sekolah dan rumah sakit, serta menyusup ke berbagai organisasi, termasuk serikat dagang dan angkatan bersenjata.
[5]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, h 26.
[6]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi,  h 29.
[7]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi,  30-31.
[8] Masykur Hakim dan Ubaidilah, Al-Qur’an Kitab Pada Zaman Kita, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2008), h 21. Lihat Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, h 29.
[9] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, h 82.
[10]Muhammad al-Ghazali,  Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīts, di terjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas Hadis Nabi, (Bandung: Mizan, 1994), h 18-21.
[11]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, h 84.
[12]إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ Artinya: “Sesungguhnya seorang mayit akan diazab karena tangisan keluarganya terhadapnya” lihat Abu al-Husain Muslim bin Hajjāj An-Naisaburi, Shahīh Muslim, juz 3 (Bairut: Dār Fikr, 2010), h 41.
[13]وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ Artinya: “Dan tidaklah membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanlah kamu kembali, dan akan diberitakanNya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.
[14]إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan kepada mereka (dengan mengatakan): Janganlah kamu merasa takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.
[15]لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ Artinya: “(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan_. Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”.
[16]جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لَهُ أَجِبْ رَبَّكَ - قَالَ - فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا  قَالَ فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِى إِلَى عَبْدٍ لَكَ لاَ يُرِيدُ الْمَوْتَ وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِى قَالَ  فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ ارْجِعْ إِلَى عَبْدِى فَقُلِ الْحَيَاةَ تُرِيدُ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً قَالَ ثُمَّ مَهْ قَالَ ثُمَّ تَمُوتُ. قَالَ فَالآنَ مِنْ قَرِيبٍ رَبِّ أَمِتْنِى مِنَ الأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم وَاللَّهِ لَوْ أَنِّى عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكَثِيبِ الأَحْمَرِ Artinya:” Malaikat naut medatangi Musa a.s. lalu berkata kepadanya: Penuhilah panggilan Tuhan. Mendengar itu, Musa meninju mata malaikat maut sehingga menyebabkabuta sebelah. Lalu malaikat kembali kepada Allah Ta’la dan berkata: Engkau telah mengutus aku menemui seorang hamba-Mu yang membenci kematian. Dan ia telah membutakan mataku. Maka Allah mengembalikan mata tersebut kepada malaikat, seraya berfirman: Kembalilah kepada hamba-Ku dan katakanlah kepadanya:”Adakah engkau masih hidup lebih lama/jika demikian, letakanlah tanganmu di atas punggung kerbau. Untuk setiap helai bulunya yang tertutupi oleh tanganmu itu, engkau akan mendapatkan tambahan hidup setahun lebih lama.” Ketika hal itu disampaikan kepada Musa, ia bertanya: Setelah itu, apa yang akan terjadi ? Jawab Malaikat: setelah itu engkau akan mati. Mendengar itu, Musa berkata: Kalau begitu, lebih baik sekarang juga. Tuhanku, amtikanlah aku di tempat  yang dekat dengan Tanag Suci sebatas lemparan batu. Rasulullah saw. Selanjutnya bersabda: Demi Allah, seandainya aku berada di tempat itu, akan kutunjukkan kepada kalian letak kuburnya di tepi jalan, pada gungudakan pasir berwarna merah”. Lihat Muslim bin Hajjāj An-Naisaburi, Shahīh Muslim, h 99.
[17] من أحب لقاء الله أحب الله لقاءه ومن كره لقاء الله كره الله لقاءه قلنا يا رسول الله كلنا نكره الموت قال ليس ذاك كراهية الموت ولكن المؤمن إذا حضر جاءه البشير من الله عز و جل بما هو صائر إليه فليس شيء أحب إليه من ان يكون قد لقي الله عز و جل فأحب الله لقاءه وان الفاجر أو الكافر إذا حضر جاءه بما هو صائر إليه من الشر أو ما يلقاه من الشر فكره لقاء الله وكره الله لقاءه  Artinya: “ Barangsiapa menykuai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun menyukai perjumpaan dengannya. Dan barangsiapa tidak menyukai perjumpaan dengan Allah, maka Ia juga tidak menyukai perjumpaan dengannya. Kami berakat: Ya Rasulullah, kami semua tidak menyukai kematian! Dan beliau berkata: Bukan itu maksudnya. Tetapi seorang mukmin, apabila menghadapi ajalnya, datanglah kepadanya pembawa berita gembira dari Allah swt. Yang menunjukkan tempat yang akan didatanginya atau keadaan yang akan dialaminya. Maka taka da suatu pun yangt lebih disukainya daripada saat ia berjumpa dengan Allah swt. Karenanya, ia akan sangat mengiginkan  perjumpaan dengan-Nya. Adapun seorang fajir atau kafir, apabila menghadapi ajalnya, datanglah pembawa ancaman yang menunjukkan kepadanya keburukan tempat yang akan didatanginya atau keburukan keadaan yang akan dialaminya. Oleh karena, ia tidak menyukai perjumpaan dengan Allah, sehingga Allah pun tak menyukainya”. Lihat Ahmad bin Hanbal Abu ‘Abdillah As-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 3 (Bairut: Dār al-Kotob Ilmiyah, 2012), h 107.


[18]طوبى للشأم فقلنا لأي ذلك يا رسول الله ؟ قال لأن ملائكة الرحمن باسطة أجنحتها عليها  Artinya: “ Berbahagialah daerah Syām. Malaikat Allah al-Rahmān membuka sayap-sayapnya untuk menaunginya”.Lihat Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi juz 4, (Bairut: Dār al-Kotob Ilmiyah, 2012), h 734.

[19]عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلاً كَانَ يُتَّهَمُ بِأُمِّ وَلَدِ رَسُولِ اللَّهِصلى الله عليه وسلم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِىٍّ « اذْهَبْ فَاضْرِبْ عُنُقَهُ ». فَأَتَاهُ عَلِىٌّ فَإِذَا هُوَ فِى رَكِىٍّ يَتَبَرَّدُ فِيهَا فَقَالَ لَهُ عَلِىٌّ اخْرُجْ. فَنَاوَلَهُ يَدَهُ فَأَخْرَجَهُ فَإِذَا هُوَ مَجْبُوبٌ لَيْسَ لَهُ ذَكَرٌ فَكَفَّ عَلِىٌّ عَنْهُ ثُمَّ أَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَمَجْبُوبٌ مَا لَهُ ذَكَرٌ Artinya: “Dari Anas bahwa seorang laki-laki dicurigai berbuat serong ummu walad (ialah budak perempuan yang melahirkan seorang anak laki-laki yang memilikinya) milik  Rasulullah saw. Maka Rasulullah berkata kepada ‘Ali r.a: Pergilah kepadanya dan bunuhlah ia! Lalu ‘Ali mendapati orang itu sedang mandi di sebuah kolam air dan segara memerintahkan kepadanya agar keluar dari kolam tersebut. Dengan dibantu oleh ‘Ali, orang itu keluar dan ternyata ia adalah seorang yang telah terpotong alat kelaminnya! Menyaksikan hal itu, ‘Ali melepaskannya dan segera melapor kepada Rasulullah saw. Katanya: Ya Rasulullah, orang itu ternyata tidak memiliki lata kelamin”. Lihat Muslim bin Hajjāj An-Naisaburi, Shahīh Muslim, h 119.